"Apa maksudmu membolos sekolah, hah?! Apa yang ada di pikiranmu? Pengin seperti kakakmu itu? Kerjaannya cuma nyetel lagu dangdut tiap hari, bukannya cari kerjaan! Sadarlah, Nak! Sadar!"
Lestari hanya terdiam. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan ataupun perbuat. Mulutnya terbungkam seribu bahasa. Kepalanya menunduk ke bawah dengan air mata di ujung pelupuk. Ia tahu kalau menangis hanya akan menambah buruk suasana. Ibunya pasti akan bertambah sakit hati setelah apa yang diperbuatnya. Raut wajahnya ia paksa untuk tersenyum, meskipun yang terpancar hanyalah senyum hampa.
Ia bingung, haruskah ia melanjutkan apa yang ia lakukan? Apa gunanya melakukan perbuatan yang tidak disukai orang tuanya? Namun, keinginan dalam hati untuk membahagiakan Ibunya dengan hasil keringat sendiri juga tidak dapat ia lupakan begitu saja. Usahanya meninggalkan kelas selama ini pun akan menguap begitu saja.
"Sudah! Mulai besok, Ibu akan mengantarmu sendiri sampai sekolah. Ibu akan melihatmu masuk sampai kelas dengan mata kepala sendiri. Ibu juga akan meminta guru kelas untuk mengawasimu! PAHAM?!"
"Paham, Bu."
"Bagus! Sekarang, masuk kamar dan belajar. Setelah itu, tidur, jangan malam-malam!"
"Saya akan melakukannya."
Oh, tidak! Jalan keluar sudah ditutup semua. Dan pabrik roti buka pukul 9 pagi. Hhhh, sepertinya keluar dari pekerjaan itu adalah jalan terbaik untuk saat ini. Aku harus mencari pekerjaan paruh waktu setelah pulang sekolah. Apa ya?
Bu Sahid! Benar, aku harus meminta bantuannya! Bekerja sebagai pencuci piring di warung es campurnya tidak buruk. Sore ini juga aku harus mengundurkan diri dari pabrik roti dan meminta bantuan Bu Sahid. Dengan bayaran lima ribu rupiah per hari sudah cukup. Dalam waktu sebulan, aku sudah bisa membelikan barang itu untuk ibuku.
*****
"Tidak bisa, Ri! Kamu masih terlalu kecil. Kamu belajar saja yang rajin. Lagipula, apa yang harus kukatakan pada ibumu kalau aku bertemu dengannya?"
"Tak bisakah Ibu menyembunyikannya? Aku benar-benar ingin membelikannya untuk Ibu saya..."
"Hhhh, apa yang harus kulakukan kalau kamu memaksa? Tapi, kamu juga jangan bilang-bilang Ibumu dan jangan sebut nama Ibu."
"Oh, terima kasih, Bu Sahid. Mulai besok saya akan bekerja di sini dengan rajin. Terima kasih..."
*****
Bekerja di tempat Bu Sahid memang hal yang bagus. Tapi kalau ketahuan Ibu, pengumpulan uangku bisa berhenti. Aku harus mencari jalan lain.
Sambil menendangi batu kerikil di jalan, kupikirkan segala kemungkinan yang bisa kulakukan. Tiba-tiba pandanganku berhenti pada papan pengumuman di depan balai desa. Lomba mengarang? Tepat. Itulah yang kubutuhkan. Tiga ratus ribu juga sudah lebih dari cukup. Ah, sekarang aku tidak perlu khawatir lagi. Semangat, Tari!
"Tari! Apa yang kau lakukan di sini?" ujar Lia mengagetkan Tari.
"Lia, Ria, kalian mengagetkanku. Ini, lho, ada lomba mengarang dari Pak Kades. Aku tertarik, ingin ikut."
"Oh, gitu. Ngomong-ngomong, kamu itu ke mana aja, sih? Katanya tadi mau ngerjain tugas elktro bersama? Tak tunggguin di rumah, kok, kamu nggak dateng-dateng?"
"Iya, makanya kita dateng ke rumahmu. Eh, nggak taunya ketemu di sini. Syukurlah kalau begitu."
"Wah, iya juga, ya? Aku lupa e..., maaf, ya. Tadi ada sedikit urusan yang kuselesaikan. Ya sudah, yuk! Sekarang ke rumahmu! Ku ajari sampai kalian paham betul!"
"Asyik!"
"Tari! Apa yang kau lakukan di sini?" ujar Lia mengagetkan Tari.
"Lia, Ria, kalian mengagetkanku. Ini, lho, ada lomba mengarang dari Pak Kades. Aku tertarik, ingin ikut."
"Oh, gitu. Ngomong-ngomong, kamu itu ke mana aja, sih? Katanya tadi mau ngerjain tugas elktro bersama? Tak tunggguin di rumah, kok, kamu nggak dateng-dateng?"
"Iya, makanya kita dateng ke rumahmu. Eh, nggak taunya ketemu di sini. Syukurlah kalau begitu."
"Wah, iya juga, ya? Aku lupa e..., maaf, ya. Tadi ada sedikit urusan yang kuselesaikan. Ya sudah, yuk! Sekarang ke rumahmu! Ku ajari sampai kalian paham betul!"
"Asyik!"
*****
"Wah, 'kok beli es campurnya banyak sekali, Bu?"
"Oh, itu, saudaranya Tari datang berkunjung. Karena tidak sempat membuat suguhan, ya pesan di sini saja. Bu Sahid, ngomong-ngomong, Ibu lihat Tari tidak, ya? Saudaranya nyariin, tapi dia belum pulang sekolah."
Raut wajah Bu Sahid langsung berubah pucat. Saat ini, keberadaan Tari hanya terpisahkan oleh selembar triplek di belakangnya sedang mencuci gelas dan mangkok. Ia terus berdoa dalam hati agar Tari tidak berdiri, apalagi berseru memanggilnya. Seraya meracik es campur pesanan ibu Tari, ia sesekali melirik ke belakang.
Namun, tindakan itu justru menimbulkan kecurigaan ibu Tari. Dengan nada penasaran, ia bertanya,
"Ada apa, Bu? Kok gelisah sekali?" tanyanya sambil melihat ke arah yang dilihat Bu Sahid.
Celakanya, saat itu Tari berdiri untuk meletakkan mangkok yang telah dicuci ke rak piring. Dalam sekali pandang, ia langsung mengenali anaknya yang sedang berkutat dengan sabun cuci piring.
Dengan segera, ia menghampiri anaknya dan berkata,