Bukanlah hal yang ganjil ketika seorang perempuan berusia 16 tahun memiliki banyak pikiran. Melangkahi batas dari dunia remaja menuju dunia dewasa. Tidak sedikit masalah yang harus dihadapi. Bukan hanya mengenai satu aspek, namun juga dari berbagai aspek.
Seperti kisah seorang gadis dalam masa 16 tahunnya. Dunia belajarnya tidak jauh berbeda dengan dunianya semasa smp dahulu, sungguh. Akan tetapi, di dunia barunya ini ia bertemu dengan banyak teman baru. Ia tidak pernah membayangkan untuk bertemu dengan mereka sebelumnya. Namun sekalinya ia berkenalan dengannya, ada semacam magnet yang membuatnya terus tertarik untuk bermain dengan si teman baru. Meski tak terelakkan fakta bahwa banyak hal yang harus ia korbankan demi dapat terus berhubungan baik dengannya, ia tetap terus mempertahankannya. Ya, mungkin untuk beberapa kesempatan ia cukup berani untuk menolak tawaran persahabatan dari teman yang semacam. Ia benar-benar memiliki alasan yang kuat untuk menolak tali pertemanan saat itu. Akan tetapi, sesungguhnya, jauh di lubuk hatinya ia sangat ingin menerima uluran tangan mereka.
Pertanyaan tentu tersempil di pikiran, apa yang mendasarinya untuk tetap kokoh bersahabat dengan teman, yang belum kelihatan akan memberinya timbal balik dalam waktu dekat? Ia pun sesungguhnya bingung. Pernah ia berpikir untuk keluar dari lingkaran teman-temannya itu dan fokus pada tujuan awal ia bersekolah. Akan tetapi, ternyata lingkaran tersebut tidak memiliki jalan keluar yang cukup terang. Ia seakan telah terperangkap dalam sebuah maze, yang baru dapat melepaskan korbannya setelah semua tugas diselesaikan dengan baik oleh si korban. Maze tersebut tidak menuntut korbannya telah menjadi seorang ahli yang profesional. Akan tetapi, maze tersebut menuntut korbannya untuk terus menempa dirinya menjadi manusia yang lebih baik. Maze tersebut ingin melihat grafik kenaikan kualitas si korban setiap hari. Meski tidak mungkin bagi korban untuk selalu memiliki grafik naik, setidaknya si korban terus berusaha untuk membuatnya tetap naik, begitu kata si maze.
Menurut cerita banyak orang, setiap korban yang telah lulus dari didikan sang maze akan meneteskan air mata. Mengapa? Hal itu karena si korban akan selalu teringat betapa besar jasa sang maze dalam membentuk kualitas dirinya. Betapa bergunanya semua ajaran sang maze dalam kehidupan nyata, yang sangatlah jauh lebih keras dalam menekannya daripada terkungkung dalam maze dengan pintu keluar yang gelap.
Hingga suatu hari si gadis pergi keluar, berjalan-jalan bersama salah seorang temannya. Mereka akan pergi ke suatu tempat untuk berbagi kebaikan dengan orang lain. Ia telah berniat dari awal bahwa ia pergi untuk menjaga hubungannya dengan si teman. Akan tetapi, sejujurnya ada semacam benda yang membuatnya merasa sedikit enggan untuk ikut serta. Ia seakan telah merasa lelah untuk berusaha menjaga hubungan baik dengan teman-temannya. Perasaan itu terus bertengger hingga acara berakhir. Si teman pun datang menghampirinya dan berkata,
"Tak apa bila kamu belum bisa ikhlas melakukannya hari ini. Namun aku ingin memberi tahumu satu hal, bahwa pahala yang kamu dapat akan berlipat jauh ketika disertai keikhlasan. Lihatlah senyum mereka ketika melihat kita datang. Jangan jadikan bibir mereka turun ke bawah hanya karena ketidaktulusan hatimu. Memang ini butuh tahapan, butuh proses. Maka, mulailah belajar ikhlas setiap kali aku mengajakmu ke tempat ini agar pahalamu menjadi berlipat dari hari ini."
Seketika gadis itu pun tersadar mengenai hakikat pertemanannya selama ini. Ia harus selalu ikhlas dan tersenyum dalam menghadapi setiap permintaan temannya. Tak ada yang seluruhnya berjalan sempurna memang. Dan juga, manfaat dan makna di balik menghadapinya tidak akan langsung dirasakan. Akan tetapi, tekanan akan membuatmu menjadi lebih dewasa, begitu bunyi sebuah pepatah yang pernah ia dengar. Semua tekanan itu, apabila dijalani dengan ikhlas dan kepala dingin, akan sangat bermanfaat ketika ia hidup di dunia nyata kelak, setelah ia lulus dari bimbingan maze. Sedikit menyimpang dari dunia belajar smp memang merupakan suatu tahapan hidup yang harus dijalani, karena hidup itu kan tidak akan selalu statis. Kalau kamu ingin selalu berada dalam zona nyamanmu, maka hal yang lebih tinggi akan sulit untuk diraih.
Gadis itu pun kini tersenyum. Ia sadar, bahwa ia tidak akan berubah menjadi lebih baik seandainya ujian dan tekanan itu, yang tanpa teman-temannya sadari mereka berikan, ia terima. Ia tidak akan menyadari kekurangannya dalam berbagai aspek bila seandainya ia tak bertemu dengan mereka.
Hanya saja, masih ada satu hal yang belum dapat ia pecahkan. Bagaimana resep mengembangkan senyum di bibir ibunya setiap kali ia pulang ke rumah?
.
.
.
.
.
to be continued






















