Siang, 15
Agustus 2018
Aku menangis
deras, mata dan hidung memerah, tak ketinggalan kantong mata
menebal. Sebuah reaksi yang sungguh kontra dengan kosongnya jadwal
Praktikum Pemrograman.
Rasanya
sudah lama sekali aku tidak menangis sehebat itu. Hanya alasan sepele yang
sesungguhnya mengundang bah air mata untuk keluar dari mataku. Aku. Belum.
Bisa. Beradaptasi. Dengan. Lingkungan. Kampus.
Aku
menyadari dengan sepenuh hati bahwa aku alay kebangetan. Aku adalah mahasiswa
yang tinggal di kota yang sama dengan universitas tempat belajarku. Hal yang
memerlukan kemampuan adaptasiku setidaknya sudah berkurang dua, yaitu
berkenalan dengan kota baru dan berkawan dengan kemandirian. Aku cuma kurang beradaptasi
dengan sistem belajar baru di kuliah, dengan kawan-kawan yang bermacam-macam,
dan dengan lingkungan organisasi yang berbeda dengan SMA. Seharusnya, tidak
sulit bagiku untuk mengondisikan diri dengan dunia perkuliahan.
Tapi
nyatanya apa? Aku. Nangis.
Perlu
diketahui sebelumnya bahwa di FMIPA UGM, para mahasiswa semester 1 peru
belajar mata kuliah wajib ke-MIPA-an. Kelas kuliah untuk belajar materi wajib
tersebut dicampur dan diacak dari ketujuh program studi yang ada. Kebetulan, di
kelasku belum ada teman dari sesama Ilmu Komputer yang perempuan. Alhasil, aku
merasa sendirian di sana.
Hal lain
yang membuatku terkejut adalah penganggapan bahwa lulus SMA berarti sudah
menguasai materi SMA sehingga materi SMA diulang tapi dengan kecepatan angin
kencang. Aku masih semacam jet lag karena otak nggak dipake untuk mikir selama
empat bulan. Ditambah lagi selama SMA aku belajar tuh bener-bener dengan
metode, hapalin sampai ujian kelar doang. Ketika ada materi yang nggak aku
mengerti, cuma aku tinggalin aja terus fokus ke mapel lain yang lebih
menguntungkan untuk dapet nilau bagus. Padahal, yang bikin nilai raporku bagus
bukan mapel-mapel IPA. Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, PKn, Bahasa Jawa, Seni
Budaya, Pendidikan Agama Islam, dan kawan-kawannya yang menorehkan nilai keren
di rapor. Nah, di kuliah sekarang aku hampir bener-bener lebih fokus belahar
ilmu sains, meskipun Agama dan English masih ada. Aku yang sering menyepelekan
pemahaman dan mikir yang penting tahu cara ngerjain soal, alhadil sekarang
kopong pas kuliah. Aku harus belajar ulang materi SMA.
Tapi,
perasaan nggak ada waktu yang cukup buat mengejar semua materi menghantuiku.
Terlebih lagi, buku referensi dan dokumen presentasi dari dosen mayoritas dalam
bahasa Inggris. Aku masih shock.
Rasanya aku
pengin nangis lagi. Ngapain aja sih empat bulan? Aku sebenernya dari awal kelas
XIi udah memutuskan untuk tetep belajar meskipun lolos SNMPTN. Tapi apa
nyatanya? Semangat cuma bertahan H+1 minggu pengumuman. Setelah itu, bye buku,
annyeong hp.
Aku mulai
merasakan bibit-bibit perasaan bahwa kok kayanya kuliah berat banget. Aku kayak
ada di posisi stuck, mau belajar, tapi speed belajarku belom cepet. Terlebih
lagi 1 Oktober 2018 UTS udah mulai. Aku mulai membayangkan aku harus gimana?
Gimana strategiku bertahan? Kuliah itu mahal, masa saktekane aja? Bahkan ada
tang bilang kalo pengin bertahan dengan nilai memuaskan setidaknya belajar buat
ujian dipersiapkan berbulan-bulan sebelumnya.
Tak
ketinggalan pula awal kuliah dibanjiri tawaran dan doktrin kating tentang
berbagai komunitas dan organisasi yang ada di kampus. Saat ini, aku tidak
merasakan euforia yang sama seperti ketika SMA. Aku belum memiliki desire untuk
daftar apapun, kecuali mungkin Omah TI.
Kenapa?
Karena aku masih merasakan lelahnya berorganisasi dengan segala keruwetan,
iuran, danusan, dan miskomnya ketika SMA. Aku seneng-seneng aja berpartisipasi
dalam sebuah acara, tapi paling nggak suka kalau terjadi mis koordinasi dan
lempar-lemparan tanggung jawab. Aku masih lelah untuk terus mengejar-ngejar
seseorang karena tugas dan tanggung jawabnya sendiri. Aku masih
terbayang-bayang bagaimana orang tua mengkhawatirkanku yang selalu pulang
paling cepat setelah asar dan paling malam pukul 22:00 WIB. Terlebih lagi, aku
tipe yang tingkat kekhawatiran dengan kondisi rumah sangat tinggi karena
nenekku merasa kesepian ketika semua cucunya pergi sekolah. Aku merasa sedih
tiap kali nenek mengeluh dengan nada menyedihkan tentang kesendirian dan
kerentaannya.
Berat.
Kuliah ini sungguh kurasakan berat di awal.
Terlebih
lagi jarak universitas dengan rumahku 10 kali lipat jarak SMA dengan rumahku.
Aku masih belum terbiasa. Apalagi aku bayangkan jika besok-besok rapat sampai
malam aku gimana pulangnya. Bagaimanakah kekhawatiran orang tua ku jika kegiatanku
terlalu sibuk?
Kalau mau
jujur, semester satu aku nggak pengin ikut apa-apa dulu. Mungkin cuma coba aja
daftar Omah TI. Aku pengin menyelami dan mengeksplor dunia perkuliahan terlebih
dahulu dengan caraku.
Ketika
merasa berat, aku pun ingat kalimat-kalimat yang tak pernah usang disampaikan
sesama teman esemasa SMA ketika lelah menghampiri.
Biar lelah yang penting lillah.
Allah tidak membebani seseorang melebihi kemampuannya.
Laa tahzan, innallaaha ma'anaa.
Jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.
Dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.
Dan ada satu
kalimat baru yang menjadi penyemangat kuliahku. Kalimat ini diucapkan pada
kuliah perdana Fisika Dasar I oleh Pak Ali Joko.
Ilmu untuk amal.
Niatkan
mencari ilmu untuk beribadah :)
Selalu
ingat, Alfa, kamu diberi ujian semacam ini karena Allah yakin kamu pasti
sanggup dan memiliki kemampuan untuk mengatasinya. Jangan mudah menyerah agar
kelak kamu dapat mengamalkan ilmu yang kau miliki dan mampu meng-upgrade diri
menjadi kekasih Allah^^
