WHO AM I

Wanita itu fitrahnya di rumah.

Wanita itu fitrahnya di rumah.

Wanita itu fitrahnya di rumah.

Hmm, kalimat yang cukup mengundang kontroversi. Tiap kali membaca ataupun mendengar kalimat tersebut, ada bagian diri ini yang secara tidak sadar otomatis menyetujui. Akan tetapi akibat paparan keragaman bacaan, akhir-akhir ini mulai muncul ketidaksetujuan.

Terkait kalimat tersebut, sesungguhnya aku sudah mulai mempertimbangkannya dalam setiap pengambilan keputusan yang berkaitan, setidaknya mulai di bangku SMA kelas X. Aku masih ingat, saat itu aku dan dua temanku pergi ke ruang BK untuk konsultasi hasil tes IQ dan kepribadian. Lebih spesifiknya berkonsultasi mengenai prospek kerja yang memungkinkan untuk kami ambil sesuai potensi dan bakat yang kami miliki.

Saat itu aku berkata pada Bu Milir, bahwa sesungguhnya cita-citaku saat itu adalah menjadi ahli tsunami. Hal ini erat kaitannya dengan 3 peristiwa bencana alam di Jogja yang cukup membekas di memoriku, yaitu gempa bumi 2006 dan 2 kali letusan Gunung Merapi. Sebenarnya ketiga peristiwa itu tidak ada kaitannya dengan tsunami, ya. Akan tetapi, di provinsi lain Indonesia, tak lama rentang waktunya, tsunami benar terjadi. 

Aku membaca di koran, terlebih lagi ibuku yang sangat menggebu tiap membahas  topik bencana seperti ini, mengatakan bahwa jumlah ahli bencana, salah satunya ahli tsunami, di Indonesia masih sedikit. Padahal, potensi terjadinya bencana di Indonesia sangat tinggi. Macam-macam jenis bencana sangat mungkin terjadi di Indonesia ini. Sangat berbeda jauh kondisinya dengan Jepang. Padahal, riset bencana yang baik sangat berguna untuk mempersiapkan berbagai upaya demi mencegah dampak bencana yang besar. Sumber daya yang berkualitas dan mencukupi tentunya diperlukan agar hal ini bisa terwujud.

Oh ya, sedikit selingan, sebelum ingin menjadi ahli tsunami, aku juga pernah bercita-cita menjadi ahli cuaca atau peneliti di BMKG. Ini terkait dengan kesenanganku saat mempelajari materi kebumian, khususnya tentang cuaca, saat SMP. Tapi, itu hanya cita-cita sesaat hehe

Kembali ke cita-citaku yang ingin menjadi ahli tsunami. Setelah menceritakan alasanku tersebut, aku juga mengatakan kebimbanganku terkait cita-cita tersebut. Aku menyampaikan kekhawatiranku, kalau tidak salah begini.

"Tapi, Bu, kalau saya jadi ahli tsunami, artinya kan saya harus sering riset ke lapangan. Sering melakukan perjalanan jauh untuk dapat sampel penelitian. Kalau sudah jadi istri, gimana ya, Bu? Kan kasihan anak-anak kalau harus ditinggal-tinggal,"

Rasanya ingin ketawa kalau ingat pergulatan emosi dan seberapa dinginnya tanganku saat mengungkapkan hal tersebut. Tapi bagaimana lagi, saat itu aku benar-benar berpikir berat kalau berpikir aku harus melepaskan anganku tersebut. Sayang, aku sudah lupa apa jawaban Bu Milir saat itu.

Nah, kok bisa sekarang aku melipir jauh ke Ilmu Komputer? Hmm, sebenarnya aku belum pasti juga alasan sebenarnya di balik keputusanku ini. Tapi, salah satu alasannya ya itu, aku mencari jurusan yang memungkinkanku untuk tetap berkarya meski dari rumah. Sungguh, sebenarnya aku ingin menjadi peneliti yang bekerja menghirup udara alam atau aktivis konservasi lingkungan. Akan tetapi, di satu sisi, aku juga meragukan kemampuan dan ketahanan tubuhku untuk menghadapi medan semacam itu.

Omong-omong soal kuliah di ilmu komputer, saat ini pun hatiku tengah dihuni kecamuk batin yang entah kepada siapa aku bisa berkonsultasi. Kuliah di ilmu komputer berarti punya teman laki-laki lebih banyak seangkatan. Meskipun nyatanya, sehari-hari kalo jeda kuliah dan makan dan nugas tetep bareng sama yang perempuan sih wkwk. Nah tapi, kalo lagi kegiatan organisasi, atau nge proyek, ketemu sama laki-laki tu ga terhindarkan. Sentuhan ga sengaja lah, disenggol lah, dan bagi yang bukan Islam, sukanya kalo mau panggil aku tapi aku posisinya membelakangi bakal pegang bahuku pake jari telunjuk. Mau marah, ya gimana. Mau kasih tahu, "jangan sentuh aku!" kok kesannya lebay banget. Padahal kalo diajak salaman aku tu dah nolak dengan halus lho, kok ya mereka belum peka :"

Dan kalo misal ada tugas, aku yang memang lambat dalam belajar dan memahami sesuatu, pasti butuh di-carry. Kalo  minta dibantuin temen yang perempuan terus-terusan, rasanya ga enak aja gitu. Jadi kan sesekali aku nanya ke yang laki-laki. Tapi, chat kalo ga kirim sticker atau emoticon tu sekarang rasanya terlalu kaku. Tapi kalo ngirim, bisa jadi menimbulkan persepsi yang tidak seharusnya. Gimana ya, ada pertentangan batin tapi masih aja dilakuin. Dasar alfa...

Nah, semakin ke sini, aku semakin ngerasa ngejaga hati dari perasaan suka ke lawan jenis tu harus semakin sering dilakukan. Gimana ya, kadang tu pengen aja gitu punya temen yang bisa diajak bercanda hal-hal ga penting, walaupun harusnya hidup di dunia tu ga boleh buang-buang waktu kebanyakan buat hal ga berguna. Harus bikin rem yang kuat!

Barusan aku nonton video hijabalila, latanya solusi buat dua orang yang tengah jatuh cinta tu ya cuma menikah.

Mendengar kalimat tersebut, sesungguhnya aku terkejut dan muncul ketidaksetujuan, karena belum ngedengerin penjelasan selanjutnya wkwk. Jadi gini, yang ada di pikiranku, kalo orang yang belum ngerti, dan lagi di puncak nya suka sama orang, kalo langsung gas nikah gara-gara baca kalimat itu gimana?

Gini lho, suka sama orang tu kan rata-rata berawal dari kekaguman terus lama-lama nafsu doang terus menganggap bahwa, fix lah ini emang cinta yang selama ini kucari. Bagaimana cara mengendalikan perasaan tersebut? Pacaran kan ga boleh. Masa ya langsung nikah? Padahal, kalo ketemu orang yang lebih baik, remaja dan orang yang baru aja dewasa kan, bakal perlahan lebih suka sama yang baru.

Kalo dah terlanjur nikah tanpa pertimbangan yang matang, dan malah di tengah merasa ga nyaman dengan pernikahannya gimana? Hanya karena pengambilan keputusan yang terlalu terburu-buru. Jangan sampe suka ke orang tu semata karena hal atributif kayak cinta monyet. Nikah tu kamu bakalan sama orang itu sampe mati, bangun lihat dia, makan lihat dia, tidur sama dia, belajar sama dia.

Iya, emang, nikah itu harusnya demi memperbaiki kualitas agama biar jadi lebih baik, bukan untuk memenuhi hawa nafsu semata. Inget, nikah tu ga cuma perkara menyatukan kamu dan dia, tapi juga 2 keluarga besar. Jangan main-main lah. Segalanya harus dipersiapkan dengan baik.

Berdasarkan pengalamanku, halu ke orang yang disuka itu muncul ketika aku gabut dan kurang sibuk dan kurang pikiran dan kurang kerjaan. Kalo aku sibuk, sampe kerjaan kebawa mau tidur dan mimpi, ga bakalan terlalu sering halu, walau bagaimanapun ada aja kadang-kadang pikiran itu berkelebat. Jadi, daripada nikah terburu padahal ilmu belum siap, kenapa engga berusaha mengembangkan diri dengan hal positif, meluaskan pandangan dan pengetahuan, biar bisa jadi ibu yang berkualitas? Sibukin dirimu, carilah komunitas yang bisa bikin kamu produktif positif. Tingkatkan dan miliki skill biar kamu tuh dicari orang jadinya bakal selalu ada kerjaan yang dipikirin. Lagian kalo ketemu banyak orang dengan pandangan hidup yang beragam, kita bisa jadi manusia yang lebih bijaksana kan?

Balik lagi ke fitrah perempuan tu di rumah. Yang sedang aku pikirin, semua orang berharap bisa menjalani kehidupan rumah tangga yang normal. Bisa hidup berdampingan dengan pasangan hingga hari tua. Tapi, sebagai perempuan, kan kita juga perlu skill untuk menghadapi segala kemungkinan yang mungkin terjadi, kata seseorang. Ya tapi, aku juga mikir gini, kalo kamu taat sama Allah, perempuan harusnya di rumah aja, rezeki tu bakal tetep ada aja dateng ke kita gimana pun caranya. Jangan anggap mengikuti akal manusia, gimana kalau kita perempuan di rumah aja ga bisa kerja ngapa ngapain, kalau kondisi keuangan rumah butuh kita juga kerja trus gimana? Rezeki tuh pasti bakal diatur ke kita, tapi juga perlu diiringi usaha. Nah, aku bingung deh di sini.

Kalo aku pribadi, peganganku sekarang, selama aku masih bebas belum terikat, dan masih diberi kesempatan buat kuliah dan ketemu orang, aku bakal manfaatin untuk meluaskan pandangan dan nambah ilmu di sana sini biar bijaksana. Soalnya, di masa depan anak kita bakal menghadapi zaman yang tantangannya jauh lebih besar daripada zaman kita waktu kecil kan? Kita ga bisa pasang fixed mindset buat mendidik anak. Kalo dah nikah, aku pengen bener-bener fokus menunaikan peranku sebagai istri, ibu, dan tentunya daiyah. Kalo masih sempat, pengen ngoding juga hehe

Ya tapi, menjaga prinsip di tengah pergaulan yang rata-rata belum sevisi dengan kita emang susah. Pengen cari temen-temen yang sholihah, tapi takut ikut keluarga muslim gara-gara takut terbawa arus paham yang ga bener, yang terlalu fanatik, tapi kalo diajak diskusi menolak. Bilangnya, sebagai muslim, kita tu ya harus bisa nerima aja dulu, soalnya otak kita belum sampe aja. Semua yang dibilang Al-Quran tu bener walaupun keliatannya ga masuk akal. Otak manusia tuh terbatas. Suatu saat pasti terbukti kebenarannya.

Iyaa, aku ngerti. Cumaa, kalo mau ngasih pemahaman agama ke orang yang belum Islam, kalo disuruh nerima begitu aja tapi  kita ga bisa kasih alasan rasional di baliknya, ya gimana ya. Butuh dijelasin kaan. Pengen gitu punya temen yang bisa aku tanyain masalah-masalah agama yang kadang mengganjal.

Hmm...hidupku...
Bismillah
Semangat semua! Semangat alfa!