Akhirnya aku tersadar.
Memang situasinya saat itu, aku bukanlah teman yang kamu pilih. Bukan karena kamu tidak senang berteman denganku. Tapi memang karena kamu memilih untuk tidak memilihku.
Karena aku pun ternyata pernah mengalami situasi yang mungkin...sama?
Seorang teman pernah menawarkan padaku untuk jika aku butuh bantuannya, jangan malu-malu untuk mengatakan kepadanya. Aku pun menjawab, "Iya, siapp,"
Tapi jauh di lubuk hatiku, apa yang sebenarnya aku rasakan dan pikirkan tidak begitu adanya. Aku merasa tidak cukup dekat hingga bisa nyaman bercerita dan curhat tentang masalah hidupku kepadanya. Meskipun sebenarnya dia pun beberapa kali bercerita tentang kesulitannya dan aku berusaha dengan tulus mencoba mencarikan jalan keluarnya. Atau kalau sedang buntu ya, sebatas mendengarkan cerita-ceritanya.
Tapi giliran aku yang mengalami masalah, aku tidak kepikiran untuk menceritakannya kepadanya. Padahal sebenarnya sudah jelas dia menawarkan, yang artinya dia pun bersedia membantu jika aku butuh bantuannya.
Tapi apa yang aku rasakan? Kok malah rasanya jadi kayak tuker-tukeran jasa curhat gitu, ya. Kek karena aku udah bantuin dia jadi dia juga perlu bantuin aku. Aku tahu sih pasti dia nggak ada maksud begitu. Dia teman dan orang yang saangat baik.
Ini hanya karena... mungkin memang masalah kecenderungan hatiku saja memilih untuk tidak suka, memilih untuk tidak merasa aman dan nyaman bercerita jika dia orangnya. Dan kalau sudah urusan hati, aku tidak bisa memaksakannya. Sama seperti aku yang tidak begitu bisa mengontrol arah hati ini untuk menyukai seseorang. Padahal tidak direncanakan tapi bagaimana bisa aku suka sama seseorang tersebut?
Tapi itulah hebatnya hati. Di dalam ia bergumul dan bergejolak begitu hebatnya. Tapi di luar, bagaimana melalui bahasa tubuh kamu menampakkannya, bisa kamu atur untuk setidaknya menutupi sedemikian rupa apa yang sebenarnya terjadi. Dan itu...aku akui kamu sangat jago dalam melakukannya. Sering kali membuat manusia, bahkan teman dekatmu sendiri terkelabui dan merasa kecolongan.
Ya.. mau bagaimana lagi. Aku baru-baru ini akhirnya cukup sadar dan mau untuk perlahan mengakui hal ini. Saat dulu aku begitu merasa bersalah dan berdosa karena waktu itu begitu ragu dengan aturan batasan interaksi dengan lawan jenis yang masih tidak kuketahui benar hukumnya, sehingga tidak mengatakan secara eksplisit,
"Kalo kamu ngerasa butuh cerita, jangan ragu buat ngomong ke aku, ya,"
Aku ngerasa sangat bersalah yang begitu mendalam. Berbagai pikiran yang selalu berandai-andai, jika saja aku menawarkan hal itu padamu saat itu, jika saja... Apakah akhirnya akan berbeda? Akankah aku sebenarnya punya potensi untuk membantumu keluar dari masalahmu?
Tapi akhirnya...aku pun menyimpulkan. Sepertinya tidak juga, karena kata teman curhatku, jikapun aku menerobos batasan dengan mencoba mendekat, belum tentu juga aku bisa menyelamatkan kamu. Ada situasi yang bisa ditolong, ada juga yang memang tidak bisa. Kata temanmu juga, kalau kamu merasa aku bisa bantu pasti kamu akan bilang. Jika kamu tidak bilang, berarti memang artinya aku tidak bisa membantu.
Dan aku punya perasaan.. dengan gelagatmu yang berusaha menyembunyikan dan mengalihkan pembicaraan, sepertinya kamu memang sudah memilih untuk tidak menjadikanku tempat bercerita. Karena menurutmu, sepertinya aku memang tidak bisa bantu apa-apa jikapun kamu cerita panjang lebar sama aku.
Dan kalau memang sudah begitu...mau bagaimana lagi? Fakta yang cukup menyakitkan sih. Tapi ya sudah. Itu sudah menjadi pilihanmu. Seperti aku, yang juga memilih untuk tidak bercerita kepada teman yang bahkan sudah menawarkan kesediaannya. Dan juga pilihanku, yang sudah memilih untuk tidak berusaha lebih mendekat dengan sekadar ngechat random, atau ngajakin keluar biar kesempatanmu untuk cerita semakin banyak. Karena menurutku saat itu pasti kamu malah akan merasa aneh dan terganggu juga dengan sikapku yang tiba-tiba aneh banget gitu.
Ya, itu sudah jadi pilihan masing-masing. Terkait akhirnya bagaimana sudah suratan takdir dari Allah yang menentukan. Kan aku tidak tahu juga sebenarnya bagaimana cerita dari sisimu sendiri. Jangan membuat asumsi lebih jauh lagi. Dunia ini...memang penuh misteri.
---
Oiya, juga sebenarnya pun, tak lama setelah itu aku sempat berkonsultasi dengan seorang kakak kelas SMA yang kuliah psikologi. Jawabannya pun juga sebenarnya sudah sangat menjawab. Tapi ya namanya masih dalam tahap denial, tetap saja otak dan hati berkompromi untuk tidak mempercayai. Untuk dokumentasi kalau kegalauan ini melanda lagi, izin menyertakan pesan Mas di sini ya hehe (belum izin sih tapi.. ya 😔)
Nah perihal ini, aku ambil pendapat yang sudah kamu mention kemarin Fa, benar kalau dalam hal ini profesi psikolog itu bisa dipadankan dengan dokter: dalam keadaan darurat atau dengan niatan menolong orang lain, menjadi boleh untuk berkomunikasi secara lebih intens dengan lawan jenis.
Nah kalau dalam profesi psikologi kan memang ada batasan yang jelas ya, kapan dimulai jasanya, kapan berakhir, seberapa sering bertemu, di mana bertemunya, dan sebagainya. Ada batasan-batasan yang jelas yang mengatur hubungan antara terapis dengan klien.
Beda memang kalau kita sebagai seorang personal yang bantu temen kita, karena batasannya jadi kurang jelas. Mungkin kalau buat alfa dalam konteks kemarin, memang lebih utama kalau usahain dulu buat mencari temen lain yang laki-laki yang bisa dengerin. Kalau ternyata ga ada (ga ada temen lain, atau ada temen lain tapi dia orangnya yang ga bisa dengerin) baru kita diperbolehkan kalau mau lebih dekat, kalau memang dirasa ini keadaan darurat.
Terus ini, bicara soal prinsip, kuyakin alfa percaya kalau prinsip itu adalah yang terbaik kan yak? Bagi alfa sendiri, maupun bagi orang lain. Ini sangat ndak apa menurutku ya.
---
Ditutup dengan sebuah post di Line yang ditulis seorang kakak kelas SMA, yang baru saja kubaca hingga membuatku berpikir dan mengambil kesimpulan tentang hal yang kutuliskan di post ini.