Aku mudah berkenalan dengan orang baru dan dapat seolah memprogram diriku untuk get along well. Kenapa? Soalnya aku adalah tipe orang yang nggak bisa dengan mudahnya mengabaikan orang ketika mereka berbicara langsung kepadaku. Aku akan berusaha sebaik mungkin untuk ngasih respon positif terhadap apapun yang mereka ungkapkan. Aku akan berusaha menjaga kontak mata agar mereka merasa dihargai. Dan, hal-hal semacam itulah, bukan, yang memang diharapkan setiap orang ketika sedang berdialog? Tentu semua akan senang, karena aku pun begitu.
Tapi tidak sama halnya dengan ketika aku harus menjalin hubungan pertemanan bersama sekumpulan manusia selama beberapa jangka waktu untuk sekolah bersama. Mulai dari aku sekolah di tingkat TK, aku belum pernah benar-benar bertemu dengan seseorang yang satu hobi, satu kesukaan, atau aspek-aspek yang menurut film-film menjadikan beberapa orang dapat berteman baik.
Aku masih ingat kejadian saat TK. Waktu itu, adalah sebuah kelumrahan bahwa sebelum bel istirahat berbunyi dan tiba waktu bermain di halaman, kami anak-anak perempuan akan membuat suatu gerombolan untuk jajan dan bermain bersama. Hanya orang-orang terpilih yang akan bermain keluar bersama.
Aku, yang dibawain bekal dari rumah dan bukannya uang jajan oleh ibu, tentu saja memiliki lebih sedikit peluang dan kesempatan untuk keluar bersama bercanda ria di luar sambil menikmati tempura atau bakso tusuk. Aku akan tetap di kelas, atau mungkin keluar ke teras kelas dan duduk di bangku, untuk menikmati bekalku. Aku mungkin merasa sedih saat itu, tapi kini aku bersyukur karena keputusan ibu tersebut menghindarkanku dari paparan MSG yang terlalu dini.
Yah, meskipun begitu, aku pernah tanpa sengaja menemukan satu keping uang koin seratus rupiah di dalam tas, dan itu sangat membuatku gembira. Langsung saja aku keluar bergabung bersama temanku untuk membeli bakso tusuk yang saat itu harganya seratus rupiah per biji. Aku merasa menikmati sajian yang sangat mewah saat itu, karena akhirnya bisa mencicipi sebuah bakso berbumbu kecap yang disajikan dalam plastik bening dan dinikmati dengan sebatang tusuk sate dari bambu. Hatiku terasa berdesir karena akhirnya aku bisa punya kesempatan untuk mencicipi hidangan yang sama dengan yang dimakan teman-temanku setiap hari. Kalau sekarang dipikir-pikir lagi, apa ya kira-kira yang dipikirkan bapak penjual bakso tusuk itu saat tahu kalau aku cuma beli satu biji bakso tusuk dan menyodorkan sekeping uang seratus rupiah? Hahah
Pernah juga, saat menunggu jemputan Mbak Warni (penjaga sekolah yang menyediakan jasa antar jemput bagi anak-anak) aku berkumpul dulu bersama teman-temanku yang sedang jajan sambil ditunggui ibunya di gazebo halaman TK. Ibu-ibu itu menanyaiku kenapa tidak pernah jajan? Aku agak lupa alasan apa yang akhirnya kupilih untuk mejawab pertanyaan itu. Yang jelas aku ingat, kalau akhirnya aku dikasih uang seribu rupiah oleh salah satu ibu temanku. Beliau menyuruhku menggunakan uang itu untuk membeli tempura. Aku masih ingat betapa membuncahnya hatiku saat itu ketika akhirnya dapat merasakan jajan tempura untuk pertama kalinya. Semua gara-gara ibu temanku yang bahkan aku nggak ingat lagi sekarang siapakah beliau.
Yah, itu adalah secuplik kisahku dulu, seorang anak TK yang jarang buaanget jajan. Karena waktu yang kuhabiskan bersama anak perempuan sedikit, aku lebih sering bermain bersama seorang anak laki-laki, yang sebut saja namanya R. Aku tidak ingat tentang bagaimana caranya kami bisa bermain bersama, pun dengan apa yang kita mainkan dan bicarakan hingga bisa cocok. Aku bahkan sudah nggak ingat lagi wajahnya. Yang kuingat hanyalah rambutnya yang njeprak tajam lebat seperti sapu ijuk dan kemampuannya untuk menirukan suara Doraemon saat berbicara "baling-baling bambu...".
Di antara anak perempuan, ada satu yang semacam menjadi pemimpin tiap main waktu istirahat. Namanya K. Namanya sering diplesetkan menjadi material elastis yang biasa dijadikan bahan baku pembuatan ban, dan lelucon itu selalu membuat seisi kelas tertawa. Tapi sekarang aku nggak menganggap candaan itu lucu haha. Aku jarang diajak main bareng sama dia. Pernah suatu ketika, K akhirnya ngajak aku main.
Sayangnya, kejadian setelahnya benar-benar membuatku sakit hati.
Sayangnya, kejadian setelahnya benar-benar membuatku sakit hati.
Saat bel istirahat berbunyi, aku ditinggal di kelas sendiri, yang artinya sama saja dengan aku nggak jadi main bareng K dan anak-anak perempuan yang lain. Aku sangat sakit hati waktu itu. Tapi, aku tetep keluar untuk bermain di halaman. Beberapa teman menghampiriku dan bertanya, katanya mau main bareng K? Kok nggak jadi tu gimana, sih? Sungguh, kejadian sama K itu bener-bener membekas hingga masih kuingat sampai sekarang. Aku masih bisa merasakan betapa tertohoknya aku saat itu. Untungnya aku nggak memecahkan tangisku saat itu.
Nah, begitu aku SD, aku mulai punya teman. Aku masih ingat betul kalau waktu SD, aku ke mana-mana pasti selalu bersama S. Kalau dipikir-pikir sekarang, aneh juga ya, kenapa aku bersedia untuk menemaninya ke kantin tiap istirahat sementara sudah jelas aku nggak akan jajan apapun di sana. Ya, saat SD pun aku tetap dibawakan bekal oleh ibu.
Anyway, pokoknya aku dulu menganggap S sebagai "sahabat"-ku. Tapi, waktu itu ceritanya aku menimbang definisi sahabat dari sudut pandangku yang masih sempit dan memutuskan bahwa rasanya hubungan tersebut kurang tepat jika diberi nama dengan istilah tersebut. Soalnya, aku merasa cuma dimanfaatkan sebagai "teman" jajan biar S ga kayak anak ilang jajan sendirian. Padahal, sebenernya nggak apa-apa atuh aku nemenin S ke kantin tiap hari. Kan, kalau istirahat aku jadi bisa keluar kelas dan melihat dunia luar, nggak cuma makan bekal di dalam kelas.
Menjelang akhir kelas 2 SD, aku sempat bertengkar dengan S. Waktu itu, aku sudah nggak tahan lagi karena benar-benar merasa seperti menjadi "pembantu"-nya S. Ya ampun, dasar drama anak kecil. Nah, sayangnya sepertinya aku nggak sempat minta maaf dan berbaikan sama S karena aku pindah rumah ke luar kota.
Menjelang akhir kelas 2 SD, aku sempat bertengkar dengan S. Waktu itu, aku sudah nggak tahan lagi karena benar-benar merasa seperti menjadi "pembantu"-nya S. Ya ampun, dasar drama anak kecil. Nah, sayangnya sepertinya aku nggak sempat minta maaf dan berbaikan sama S karena aku pindah rumah ke luar kota.
Nah, begitu pindah ke Jogja, aku merasa memiliki banyak kawan. Kehadiranku sebagai anak pindahan di sini disambut dengan baik. Aku, yang masih bukan siapa-siapa, sering diajak sepedaan bareng dan main ke rumah teman satu kelas. Aku merasa dimanusiakan oleh teman-teman SD-ku di Jogja. Akan tetapi, ternyata ada pula pihak yang di belakang kurang suka dengan kehadiranku yang menyebabkan posisi ranking di kelas bergeser. Yah, mau bagaimana lagi, ya. Untung saja aku baru mengetahui fakta itu menjelang kelulusan.
Hingga aku lulus SD, aku belum dipercayai oleh orang tuaku untuk memiliki hp pribadi. Ya, bagus sih, sebenarnya, karena aku jadi nggak kena paparan negatif terlalu dini yang bisa mempengaruhi pola pikir anak-anak yang polos. Tapi, aku jadi hilang kontak dengan teman-teman, karena aku kan jadi jarang main ke area sekitar sekolah, yang mana mayoritas lokasi tempat tinggal teman SD di situ. Sampai akhirnya baru kontak-kontakan lagi lewat grup WA pas kuliah gara-gara ndak sengaja ketemu akun instagram teman SD.
Naik ke jenjang SMP, aku mengalami jet lag sosial. Angan agar aku dapat nilai UN SD yang bagus tercapai dan aku, menurut kacamataku saat itu, "dipaksa" untuk daftar ke SMP Negeri 5 Yogyakarta. Kenapa aku memilih kata "dipaksa". Yah, dulu, mayoritas teman SD ku melanjutkan sekolah ke SMP yang jaraknya tidak terlalu jauh dengan lokasi SD. Aku, sebagai anak-anak, tentunya pun juga ingin ikut-ikutan daftar ke SMP yang sama dengan teman-temannya. Tapi, aku disuruh daftar SMP 5 huhu. Aku yang anak manutan ya cuma bisa inggah inggih.
Begitu memasuki masa MOS, aku ga kenal sama siapa-siapa. Mayoritas anak SMP 5 itu dari SD Muhammadiyah Sapen, SD Ungaran, SD Serayu, SD Muhammadiyah Condongcatur, dll. Intinya, aku ga punya teman dari asal SD yang sama di sana. Saat hari pertama itu, yang lain udah bisa ngobrol dengan gembira bergerombol dengan sesama teman SD nya. Sementara aku? Hanya diam. Kalau ditanya, "Teman satu SD mu yang masuk sini ada berapa?". Karena aku malu kalo cuma sendirian, aku selalu menjawab, "Aku nggak tahu e, belum ketemu aja sama teman satu SD."
Yang membuat aku merasakan ketimpangan adalah, ya kalau boleh jujur, adalah gaya hidup. Teman-teman SMP tuh kalau pulang sekolah jajannya ke Calais, beli bubble tea. Kalo berangkat diantar orang tua pakai mobil. Kalau istirahat, mainan game di iPad atau Blackberry. Kalau ada film baru, bareng-bareng pergi ke bioskop. Sepatu merk nya kalo ga Nike ya Rebook. Tas merk Export kalo ga Nike.
Lah aku? Uang jajan aja aku hemat-hemat banget soalnya aku merasa harus punya uang jaga-jaga kalau misal pas aku naik bus kota atau Trans Jogja dan bus nya mogok, aku kan harus naik taksi atau becak ke rumah yang mana itu sangat mahal. Jadi, aku harus nabung untuk menyiapkan situasi itu kan. Dulu awal-awal kelas 7, aku berangkat sekolah naik bus kota jalur 2 dan pulang naik jalur 2 lagi disambung jalur 15. Aku dulu awalnya malu karena hanya menjadi minoritas yang harus naik bus kota di antara teman-teman yang dijemput naik mobil. Karena malu, kalau mencegat bus aku sengaja berjalan agak jauh dari gerbang sekolah biar ga kelihatan kalau lagi nunggu bus kota untuk pulang hehe. Untungnya, beberapa saat kemudian aku menemukan teman satu kelas yang juga pulang naik bus jalur 2. Sejak saat itu, aku tidak terlalu merasa malu karena punya teman menunggu bus lewat bersama di depan gerbang.
Sampai SMP kelas 2, hp-ku masih nokia yang ukurannya segenggam tangan itu. Awalnya waktu kelas 7, hp nokiaku yang layarnya sudah berwarna. Sayangnya, suatu hari saat berangkat sekolah, tiba-tiba hpku hilang dari kantong celana olahraga ku. Prediksiku sih, hp nya jatuh dari kantong waktu di jalan. Aku sedih sekali karena merasa telah menghilangkan barang mahal dan tidak mampu menjaga amanah barang dari orang tua. Karena hilang, jadi aku harus pakai hp nokia yang masih warna teks hitam background abu-abu dengan lampu kuning.
Nonton ke bioskop? Mana pernah? Kegiatan itu kuanggap benar-benar buang-buang uang saat itu karena hanya demi menonton sesuatu selama 2 jam, kita harus bayar 50K yang mana bisa untuk beli buku cerita yang lebih worth it. Pertama kali nonton bioskop tu ya pas nonton Kungfu Panda 3 ditraktir tante. Wkwk. Sepatu dan tas? Bagiku dulu, sepatu harga di atas seratus ribu itu sudah mahal banget. Jadi, kalau urusan sepatu, aku selalu menyerahkan ke ibu untuk dibelikan saja. Soalnya, selain aku ga punya selera yang bagus soal beli barang begituan, ibuku itu juga jago cari barang berkualitas tapi murah dan tahan lama. Hehehe
Ya, intinya beberapa kesenjangan sosial tersebut membuatku minder karena merasa berbeda sendiri. Tapi, lama kelamaan aku mulai beradaptasi dan muncul sikap "bodo amat" ku. Aku mulai berpikir, "Sepatu mah kan yang penting bisa buat jalan.". Ya gitu gitu lah hehe
Begitu SMA, aku merasa kesenjangan sosial lebih sedikit. Yah, meskipun yang pakai sepatu Nike, Rebook, dan New Balance masih banyak hehe. Di SMA, semua dituntut untuk ramah, saling menyapa, dan saling membantu. Aku sering sekali merasa dimanusiakan di sini. Banyak sekali teman-teman yang mengajak dan merubahku menjadi pribadi yang lebih baik. Tapi, aku juga belum benar-benar menemukan teman yang satu visi denganku. Aku acap kali masih merasa sendiri. Bahkan jika ada reuni, aku juga ga merasa punya bahan obrolan yang seru dan nyambung sehingga tetap merasa sendiri.
Yaa begitulah serba-serbi hubungan pencarian teman versiku. Aku.. belum menjadi orang yang bisa menjaga sikap pura-pura tertarik dengan sesuatu terlalu lama agar bisa menjaga hubungan pertemanan dengan seseorang. Tapi, kebanyakan hubungan pertemanan harus ada situasi saat kita perlu pura-pura agar teman kita bahagia. Ya, bukankah saling menjaga perasaan dan hati orang lain itu baik? Aku pun terkadang emmaksakan diriku untuk pura-pura begitu. Tapi, saat aku begitu, ada penolakan di hatiku yang membuatku merasa kurang nyaman.
Ya. Begitu.
Begitu memasuki masa MOS, aku ga kenal sama siapa-siapa. Mayoritas anak SMP 5 itu dari SD Muhammadiyah Sapen, SD Ungaran, SD Serayu, SD Muhammadiyah Condongcatur, dll. Intinya, aku ga punya teman dari asal SD yang sama di sana. Saat hari pertama itu, yang lain udah bisa ngobrol dengan gembira bergerombol dengan sesama teman SD nya. Sementara aku? Hanya diam. Kalau ditanya, "Teman satu SD mu yang masuk sini ada berapa?". Karena aku malu kalo cuma sendirian, aku selalu menjawab, "Aku nggak tahu e, belum ketemu aja sama teman satu SD."
Yang membuat aku merasakan ketimpangan adalah, ya kalau boleh jujur, adalah gaya hidup. Teman-teman SMP tuh kalau pulang sekolah jajannya ke Calais, beli bubble tea. Kalo berangkat diantar orang tua pakai mobil. Kalau istirahat, mainan game di iPad atau Blackberry. Kalau ada film baru, bareng-bareng pergi ke bioskop. Sepatu merk nya kalo ga Nike ya Rebook. Tas merk Export kalo ga Nike.
Lah aku? Uang jajan aja aku hemat-hemat banget soalnya aku merasa harus punya uang jaga-jaga kalau misal pas aku naik bus kota atau Trans Jogja dan bus nya mogok, aku kan harus naik taksi atau becak ke rumah yang mana itu sangat mahal. Jadi, aku harus nabung untuk menyiapkan situasi itu kan. Dulu awal-awal kelas 7, aku berangkat sekolah naik bus kota jalur 2 dan pulang naik jalur 2 lagi disambung jalur 15. Aku dulu awalnya malu karena hanya menjadi minoritas yang harus naik bus kota di antara teman-teman yang dijemput naik mobil. Karena malu, kalau mencegat bus aku sengaja berjalan agak jauh dari gerbang sekolah biar ga kelihatan kalau lagi nunggu bus kota untuk pulang hehe. Untungnya, beberapa saat kemudian aku menemukan teman satu kelas yang juga pulang naik bus jalur 2. Sejak saat itu, aku tidak terlalu merasa malu karena punya teman menunggu bus lewat bersama di depan gerbang.
Sampai SMP kelas 2, hp-ku masih nokia yang ukurannya segenggam tangan itu. Awalnya waktu kelas 7, hp nokiaku yang layarnya sudah berwarna. Sayangnya, suatu hari saat berangkat sekolah, tiba-tiba hpku hilang dari kantong celana olahraga ku. Prediksiku sih, hp nya jatuh dari kantong waktu di jalan. Aku sedih sekali karena merasa telah menghilangkan barang mahal dan tidak mampu menjaga amanah barang dari orang tua. Karena hilang, jadi aku harus pakai hp nokia yang masih warna teks hitam background abu-abu dengan lampu kuning.
Nonton ke bioskop? Mana pernah? Kegiatan itu kuanggap benar-benar buang-buang uang saat itu karena hanya demi menonton sesuatu selama 2 jam, kita harus bayar 50K yang mana bisa untuk beli buku cerita yang lebih worth it. Pertama kali nonton bioskop tu ya pas nonton Kungfu Panda 3 ditraktir tante. Wkwk. Sepatu dan tas? Bagiku dulu, sepatu harga di atas seratus ribu itu sudah mahal banget. Jadi, kalau urusan sepatu, aku selalu menyerahkan ke ibu untuk dibelikan saja. Soalnya, selain aku ga punya selera yang bagus soal beli barang begituan, ibuku itu juga jago cari barang berkualitas tapi murah dan tahan lama. Hehehe
Ya, intinya beberapa kesenjangan sosial tersebut membuatku minder karena merasa berbeda sendiri. Tapi, lama kelamaan aku mulai beradaptasi dan muncul sikap "bodo amat" ku. Aku mulai berpikir, "Sepatu mah kan yang penting bisa buat jalan.". Ya gitu gitu lah hehe
Begitu SMA, aku merasa kesenjangan sosial lebih sedikit. Yah, meskipun yang pakai sepatu Nike, Rebook, dan New Balance masih banyak hehe. Di SMA, semua dituntut untuk ramah, saling menyapa, dan saling membantu. Aku sering sekali merasa dimanusiakan di sini. Banyak sekali teman-teman yang mengajak dan merubahku menjadi pribadi yang lebih baik. Tapi, aku juga belum benar-benar menemukan teman yang satu visi denganku. Aku acap kali masih merasa sendiri. Bahkan jika ada reuni, aku juga ga merasa punya bahan obrolan yang seru dan nyambung sehingga tetap merasa sendiri.
Yaa begitulah serba-serbi hubungan pencarian teman versiku. Aku.. belum menjadi orang yang bisa menjaga sikap pura-pura tertarik dengan sesuatu terlalu lama agar bisa menjaga hubungan pertemanan dengan seseorang. Tapi, kebanyakan hubungan pertemanan harus ada situasi saat kita perlu pura-pura agar teman kita bahagia. Ya, bukankah saling menjaga perasaan dan hati orang lain itu baik? Aku pun terkadang emmaksakan diriku untuk pura-pura begitu. Tapi, saat aku begitu, ada penolakan di hatiku yang membuatku merasa kurang nyaman.
Ya. Begitu.

0 comments