Distorsi

By alfanadhya - May 29, 2024



Dengan malas, kubiarkan jempol kananku bergerak ke atas dan ke bawah bermain TikTok. Tak terhitung sudah berapa video pendek yang kutonton sekilas-sekilas. Hingga muncullah satu potongan video kajian Ustadz Adi Hidayat yang membawakan topik terkait penyakit wahn: cinta dunia, takut mati.

Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Akan datang suatu masa umat lain akan memperebutkan kamu ibarat orang-orang lapar memperebutkan makanan dalam hidangan.” Sahabat bertanya, “Apakah lantaran pada waktu itu jumlah kami hanya sedikit Ya Rasulullah?”. Dijawab oleh beliau, “Bukan, bahkan sesungguhnya jumlah kamu pada waktu itu banyak, tetapi kualitas kamu ibarat buih yang terapung-apung di atas laut, dan dalam jiwamu tertanam kelemahan jiwa.” Sahabat bertanya, “Apa yang dimaksud kelemahan jiwa, Ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Cinta dunia dan takut mati!”. (HR. Abu Daud)

Sontak, aku tertegun. Ku biarkan pikiranku merenung beberapa waktu. Kalau dipikir lagi, sepertinya akhir-akhir ini aku memang terlalu berorientasi kepada dunia. Memang tidak sampai mengadopsi hustle culture, tapi cukup banyak pengambilan keputusanku yang didasarkan pada kekhawatiran atas kestabilan hidup di dunia.

Bukti pertama adalah perhatianku terhadap financial planning. Dengan kondisiku saat ini, sulit sekali rasanya untuk membayangkan bagaimana memulai keluarga baru. Menabung untuk membeli rumah rasanya mustahil. Tunggu, bahkan untuk sekadar menyekolahkan anak saja rasanya susah. Rasanya, uang hanya cukup untuk makan, itu pun hanya bisa seadanya. Belum lagi persiapan dana haji dan pensiun. Iya tetap penting, tapi aku sampe stress banget mikirin berapa banyak jumlah dana yang harus dikumpulkan untuk bisa tenang karena semua pos keuangan dasar sudah terpenuhi.

Bukti kedua, dulu tujuanku berkuliah selain menuntut ilmu adalah memiliki skill agar bisa masuk dunia kerja. Segala macam aktivitas non akademik kuikuti, mulai dari lomba, inkubasi startup, project, komunitas sosial, volunteering. Biar apa? Biar LinkedIn ku tidak kalah bersinar dibandingkan teman-teman sesama alumni sekolahku. Biar aku tidak kalah keren dalam hal karir. Biar aku tidak dianggap gagal dari sisi pencapaian dunia.

Lalu aku teringat saudara-saudara di Palestina. Dahulu mereka pun memiliki kehidupan yang normal seperti manusia di negara lain yang tidak mengalami perang. Sebagian punya rumah bagus, fasilitas nyaman, sekolah yang tinggi. Namun karena Allah menghendaki mereka untuk mengalami ujian berupa hidup di kondisi perang, nikmat punya cita-cita dan kenyamanan hidup itu tak dapat lagi mereka rasakan. Saluran komunikasi dengan dunia luar terputus, aliran listrik tidak tersedia, pun kebutuhan dasar seperti makanan, minuman, dan kesehatan.

Mereka tak lagi bisa merawat diri agar tampil presentable. Mereka tak lagi bisa mengejar mimpi dengan jalur pendidikan tinggi. Mereka tak lagi bisa memiliki kedudukan yang terpandang di karir. Bagi mereka, untuk bisa makan dan bertahan hidup saja sudah sangat sulit. Namun apakah dengan tidak memiliki semua hal berharga dari kacamata duniawi itu lantas menjadikan mereka tak berharga? Tentu tidak. Karena bagi Allah, bukan hal-hal itulah yang utama.

Di titik ini, aku jadi merefleksikan kembali nilai apa yang ingin aku hargai di hidup ini. Tentu saja, manusia mana yang tidak mendambakan hidup nyaman dan tercukupi? Namun bila keadaan tidak seindah itu, mau bagaimana? Hal fundamental apa sih yang pada akhirnya tetap menjadikan kita berharga di mata Allah?

Punya rumah. Punya rumah besar dengan desain yang baik tentu menyenangkan. Tapi jika setidaknya sudah mencukupi kebutuhan dasar, yaitu untuk berlindung dari cuaca, beristirahat, menyimpan barang, membersihkan diri, dan menghidupkan agama di keluarga, bukankah cukup? Tekanan dari masyarakat untuk punya rumah sendiri di lokasi strategis dan lain sebagainya, apakah omongan mereka mempengaruhi hidupmu di akhirat kelak?

Bisa menyekolahkan anak di institusi yang berkualitas. Iya, semua orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya. Tapi jika tidak mampu, apakah harus memaksakan? Betul tetap harus selektif memilihkan lingkungan, tapi bisa dipilihkan yang terbaik sesuai kemampuan orang tua. Lagipula, anak berhadapan dengan situasi tidak ideal itu pasti akan terjadi. Tugas orang tualah untuk tetap mengarahkan dan mendidik di rumah, agar anak punya kemampuan untuk secara luwes menghadapi situasi itu tanpa meninggalkan prinsip dasar sebagai muslim. Tetap peran orang tua itu penting.

Makan enak dan rutin jajan. Iya sih, dengan semakin banyaknya pilihan makanan yang mudah diakses saat ini, lidah terkadang menuntut dimanjakan. Tapi ingatlah kembali bahwa muslim dianjurkan untuk makan secukupnya, biar ga lapar aja dan tetap bisa beraktivitas. 1/3 untuk makanan, 1/3 minuman, dan 1/3 ruang kosong. Makanan itu kebutuhan, tapi jangan dilebih-lebihkan. Bisa punya sesuatu untuk diubah menjadi energi agar menjadi manusia yang bermanfaat saja sudah sebaiknya disyukuri. Jangan mengasihani diri dan seolah begitu merana ketika datang masa sehari-hari hanya bisa lauk tempe telur misalnya.

Iya, bukan maksudnya lantas tidak berusaha mencari rezeki. Tapi maksudku untuk mengingatkan diriku sendiri, jangan menunggu harus hidup mapan dan enak versi masyarakat umum dulu untuk mulai berani melakukan sesuatu ibadah yang baik itu. Ketika kondisinya memang hanya bisa seadanya dan hidup agak susah versi masyarakat, tapi sebenarnya cukup bisa dijalani, ya jangan terlalu ditahan lama. 

Iya sih, bersyukur sekali untuk satu hal itu aku sudah bisa memahaminya. Terima kasih saudara-saudara Palestina yang sudah mengajarkanku makna ini🥺 Mengajarkanku untuk jangan lupa hakikat dunia yang hanyalah perantara menuju kehidupan yang sesungguhnya kelak di akhirat. Mengajarkanku untuk menyusun kembali prioritasku. Aku doakan semoga Allah berikan segala yang terbaik bagimu🍉✨

  • Share:

You Might Also Like

0 comments