Menjaga Keberkahan Waktu dalam Bekerja
By alfanadhya - March 05, 2025
TLDR
Haus pengakuan -> Pamer -> Sombong -> Ketagihan mencapai sukses dunawi -> Agama dikesampingkan -> Waktu habis untuk mengejar dunia -> Keberkahan waktu hilang (either beneran mencapai kesuksesan dunia ataupun tidak, sama-sama ujian)
Ciri keberkahan waktu: effort untuk hal-hal duniawi secukupnya, tapi hasil tetap maksimal.
*Tentu ada orang yang sukses duniawi tanpa kehilangan keberkahan waktu, karena mereka memahami prioritas dan tetap menjaga niat yang lurus. Yang menentukan bukan hanya aktivitasnya, tetapi juga niat dan bagaimana seseorang mengelola hidupnya.
***
Pernahkah kalian merasa... kelihatannya secara pendapatan situasi terus membaik, tapi kenapa waktu terasa cepat berlalu begitu saja? Atau mungkin pernah dengar cerita seorang tukang becak yang pemasukannya tidak seberapa dan tidak menentu, tapi mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga sarjana—bahkan masih bisa menyisihkan rezekinya untuk naik haji? Atau mungkin, rasanya sudah mendedikasikan lebih banyak waktu untuk bekerja, tapi kok hasilnya hanya sedikit, bahkan tak jarang nihil?
Kalkulator manusia seringkali tidak mampu memperhitungkan faktor-faktor tak terlihat secara menyeluruh, sebagaimana yang kalkulator Allah selalu bisa lakukan. Apa yang menurut prediksi manusia sebagai tidak mungkin jika melihat sumber daya yang dimiliki di dunia, ternyata tidak cukup menjadi penentu keberhasilan yang mutlak. Ada hal-hal yang jika dilakukan secara ikhlas karena Allah dan konsisten, ternyata mampu melampaui teori alur kesuksesan normal manusia.
Di sinilah keberkahan bermain peran. Mungkin, kita terlalu hanyut dengan kesibukan duniawi hingga lalai menjadwalkan waktu khusus untuk membaca Al-Qur'an dan belajar ilmu agama. Akhirnya, kegiatan yang penting tersebut hanya mempergunakan waktu sisa—kalau sempat saja. Padahal, seperti yang mungkin kita sudah tahu, yang sering terjadi justru adalah tidak sempat.
Ada suatu pepatah populer yang mengatakan, bahwa hidup itu sejatinya adalah menunggu waktu sholat. Dari situ saja seharusnya kita sudah mampu menarik petunjuk, bahwa agama seharusnya menjadi prioritas. Sekolah formal, bekerja, bermain—harusnya menjadi kegiatan-kegiatan yang sifatnya boleh dilakukan saja untuk memaksimalkan tugas kita dalam melaksanakan ibadah di dunia ini, tapi bukan yang utama. Sedihnya, realita yang umum terjadi sekarang adalah kebalikannya: ibadah adalah kegiatan pendukung saja. Yang penting susah payah cari cuan, sementara sholat pun sekadar menunaikan kewajiban saja—seperti kegiatan presensi di sekolah, yang penting hadir.
Memang manusia itu sangat rentan terpeleset kepada sifat sombong dan riya'. Mereka rentan merasa haus akan validasi dari manusia lain sehingga merasa harus selalu menunjukkan keunggulan-keunggulan dirinya, pencapaian-pencapaiannya, agar orang-orang kagum dan hormat kepadanya.
Dengan terbiasa berperilaku demikian, penyakit hati pun bisa tumbuh. Perilaku sombong akan melekat pada dirinya, hingga ia terlalu percaya diri kepada kemampuannya. Ia merasa punya segalanya untuk mencapai sesuatu dan hanya dengan mengandalkan dirinya lah dia mampu.
Padahal, siapalah manusia tanpa kemurahan hati dari Sang Pencipta. Semua hal di Bumi ini semata-mata terjadi karena izin Allah. Tidakkah mereka belajar dari manusia-manusia sebelumnya, yang meskipun sudah mengeluarkan segala upaya maksimal untuk keinginannya tapi tidak kunjung tercapai karena memang belum atau tidak Allah izinkan? Banyak hal di luar kendali kita yang mampu mempengaruhi hasil akhir.
Pada era sosial media saat ini, batas antara berbagi momen dengan riya' itu sangatlah tipis. Mungkin memang benar awalnya posting story makanan untuk merekam momen yang berkesan dalam hidup, selayaknya album foto. Namun masalahnya dengan media sosial yaitu penontonnya bukan hanya kamu seorang yang ingin menyimpan potongan kisah hidup tersebut. Ada begitu banyak teman-temanmu yang juga melihat, tapi bisa jadi tidak seberuntung kamu untuk bisa membeli makanan tersebut. Ada yang mungkin ikut senang melihatmu bisa melakukan itu, tapi tidak menutup kemungkinan juga ada yang iri dan malah jadi berdosa karena postinganmu.
Bukan lantas berarti ya udah stop posting apapun. Lebih kepada pertimbangkan kembali dengan menyeluruh, apa niat dan manfaat postinganmu di media sosial. Seperti namanya: MEDIA SOSIAL, berarti memang maksud media tersebut adalah untuk bersosialisasi. Untuk menjaga hubungan dengan teman-teman meskipun sudah berbeda kesibukan dan berjauhan lokasi.
Kalau memang ingin mengabadikan momen bertemu dengan teman, ya sudah posting foto bersama temannya saja beserta topik bahasan berkesan yang bisa dipetik pelajarannya untuk teman lain juga. Coba lebih berhati-hati lagi dalam menyertakan foto hal-hal yang berpotensi untuk menjadi celah perasaan sombong dan riya' itu muncul. Jangan prioritaskan gengsi dan persepsi orang lain dalam menyusun konten yang di-share di media sosial—fokus ke apa saja hal baik yang ingin dibagikan agar bernilai manfaat tidak hanya untuk diri sendiri, tapi juga orang lain.
Sombong dan riya' untuk menunjukkan pencapaian-pencapaian pribadi ini setelah kupikirkan lagi menjadi salah satu penyebab terlalu fokusnya diri untuk mengejar hal-hal duniawi. Akhirnya, salah fokus deh. Padahal, dengan menjaga dan memprioritaskan kualitas ibadah kita—dengan tanpa menyepelekan duniawi, meskipun usaha kita mengejar dunia tidak sekeras orang lain, bisa jadi karena kelebihan berupa keberkahan waktu yang kita miliki, kita tetap tercukupi hidupnya dengan baik. Effort untuk hal-hal duniawi secukupnya, tapi hasil tetap maksimal karena faktor keberkahan waktu. Itulah manusia, khususnya diri sendiri, yang sering sekali khilaf.
Semoga dengan fokus kembali kepada hal-hal esensial dalam hidup menurut agama Islam, kita bisa lebih menjalani hidup dengan penuh keberkahan, aamiin...
***
Sebagai penutup, berikut tiga hal yang bisa jadi pertimbangan utama sebelum memposting di media sosial agar tidak terkesan pamer.
*Jika ragu, mungkin lebih baik menunda atau mengubah cara penyampaian agar lebih bermakna.
1. Niat & Tujuan
apakah aku memposting ini untuk berbagi manfaat atau hanya mencari pengakuan? Apakah ini bisa membawa kebaikan bagi orang lain?
2. Dampak pada Audiens
Bagaimana perasaan orang yang melihatnya? Apakah bisa memotivasi atau justru membuat mereka merasa kurang?
3. Kebermanfaatan & Keberkahan
Apakah aku tetap nyaman jika postingan ini diingat bertahun-tahun kemudian? Apakah ada cara lain untuk merayakan momen ini tanpa harus dipublikasikan?
0 comments