Lelah yang Lillah

By alfanadhya - April 02, 2025


Tadi sore, kami bertamu ke rumah kawan Bapak. Bapak cerita, kalau Kakek dulu sangat menentang Bapak untuk bekerja ataupun sekolah lanjut keluar negeri. Meskipun Bapak sudah dinyatakan lolos seleksi, tapi Kakek bersikukuh agar Bapak di Jogja saja lanjut S2 dan jadi PNS.

Awalnya Bapak tidak mengerti alasan Kakek bersikap demikian. Di saat teman-temannya sudah bisa berkarir di ibukota bahkan mancanegara, Bapak diminta untuk tinggal saja. Barulah kini Bapak menyadari, bahwa mungkin sebagai anak laki-laki tertua memang ada harapan untuk menjaga keluarga meskipun sebagai gantinya hidup berkecukupan saja. Bukankah yang terpenting dalam hidup ini adalah bisa beribadah kepada Allah dengan maksimal? Harta adalah alat, yang kalau jumlahnya di batas cukup saja ya sudah terpenuhi juga kan sebenarnya tujuan hidupnya, tanpa perlu mencari begitu banyak?

Aku jadi merenung, aku segitunya bersemangat dan berusaha mencari peluang S2 di luar negeri dengan beasiswa dalam rangka apa, sih? Sudah murnikah niatku memang karena Allah? Apakah dengan menjalaninya aku menjadi jauh lebih dekat kepada Allah atau justru sebaliknya? Apakah memang hanya dengan jalan sekolah lagi sendirian dan jauh di negeri orang yang asing dan menjadi minoritas merupakan satu-satunya cara untuk merealisasikan misi tersebut? Adakah alternatif cara untuk meraihnya jika plan sekolah lagi ini tak kunjung tercapai? Bagaimana kalau di dalam negeri saja, dengan trade-off yang mungkin lebih kecil?

Aku mengenal seorang istri yang begitu patuh kepada suaminya. Hingga pindah ke kota kecil yang asing pun ia ikut dengan sukarela. Sekilas mungkin dengan kacamata modern aku akan melihat sikapnya itu tidak berdaya. Tapi kalau melihat dari kacamata agama, sebenarnya tiket masuk surganya sudah terjamin. Rezeki pun sebenarnya sudah Allah jamin. Lantas, mengapa harus gelisah?

Cinta yang utama itu hanyalah untuk Allah. Cinta kepada makhluk, kepada ilmu pengetahuan, kepada harta itu boleh—tapi secukupnya dan hanya dipandang sebagai kendaraan untuk mencapai cinta yang utama, yaitu cinta kepada Allah.

Kalau sholat ga nikmat, dzikir sedikit terasa sangat lama, sementara ngobrol berjam-jam ngalor ngidul kok tidak berasa—segera periksa diri, mungkin hati sedang kotor dan butuh tazkiyatun nafs.


Kini, banyak orang berlomba-lomba mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Padahal sebagai orang Islam, kita perlu menyimpan harta secukupnya saja dan perlu tujuan yang jelas juga kenapa butuh memiliki sejumlah tersebut. Kalau berlebih, maka sedekahkanlah.

Untuk menjaga hati yang bersih juga penting untuk menjauhkan diri dari kemewahan, pujian manusia, rasa ingin terkenal, dan merendahkan diri. Kedudukan dan pangkat itu memang nyaman, tapi bisa membuat lupa diri. Padahal tak ada pencapaian ataupun kesuksesan yang kita peroleh melainkan atas izin Allah semata. Betul kita berusaha maksimal, tapi bisa saja Allah memilih orang lain untuk mendapatkan nikmat tersebut, bukan?

Sangat kontradiktif dengan tren saat ini, dengan adanya media sosial, rasanya semua ingin terkenal. Personal branding direncanakan sedemikian rupa agar orang-orang suka dan dipandang sebagai thought leader. Padahal, sebelum itu, cita-cita untuk menjadi ahli perlu didasari dulu oleh niat beribadah kepada Allah. Dengan demikian, setiap konten yang dibuat memang bertujuan untuk semakin mendekatkan kita kepada tujuan beribadah tersebut. Jika ada ide konten yang sifatnya flexing, perlu buru-buru dihindari agar tidak mengotori hati. Jangan bikin rencana konten pencapaian dunia sebagai alat kasih makan media sosial saja dengan harapan mendapatkan kehormatan dari manusia lain.

Yuk bersihkan hati kembali pada momen Idul Fitri ini. Evaluasi kembali kegiatan-kegiatan yang kurang bermanfaat dan kurang bermakna yang bisa mempengaruhi kesehatan hati kita. Jangan mencintai sesuatu berlebihan, melebihi cinta kita kepada Allah. Ingat, mati nanti hanya amal ibadah yang menemani🌱✨






  • Share:

You Might Also Like

0 comments