Tantangan Menjaga Keteguhan

By alfanadhya - July 06, 2025

Ahad, 22 Juni 2025. Hari pertama secara resmi terdaftar sebagai peserta summer school. Selepas registrasi ulang, aku kembali ke kamar untuk meletakkan barang-barang. Di lorong, aku bertemu dengan Sinje, peserta dari Jerman. Ia adalah seorang perempuan yang ceria dan penuh semangat. Kami berjanji bertemu untuk makan siang setelah dia selesai dengan proses registrasi ulangnya. Aku berkabar dengan kelompok teman perjalanan pertamaku untuk menunggunya: Kabi dari Nepal dan Bihar dari Solo.

Selang beberapa waktu, Sinje mengirimkan pesan bahwa dia sudah selesai dan menunggu di depan asrama. Aku pun bergegas turun ke bawah. Kami berjalan kurang lebih 2 km untuk sampai kantin. Tak kusangka, ternyata Sinje sudah bersama dengan sekelompok peserta baru lain. Ada Aso Ali dari Irak, Jang Bomgeun dari Korea, Yen dari Malaysia, Tran dari Vietnam, dan seorang dari Thailand yang suka Panda. Kami banyak bercerita dan berkenalan selama di perjalanan.

Sesampainya di sana, tantangan pertama datang: menemukan food court halal di Heyuan Canteen. Kami bertanya di grup besar dan mendapat jawaban bahwa lokasinya terletak di lantai 1, Lanzhou Noodles namanya. Dengan bantuan Aso Ali dan Kabi yang memiliki kemampuan Chinese language karena memang sedang berkuliah di Tiongkok, kami akhirnya menemukannya. Aku cukup merasa lega karena melihat penjualnya menggunakan kopiah.


Namun, tantangan selanjutnya datang: memesan makanan. Paman-paman penjual ini tidak terlalu bisa bahasa Inggris. Pun jika berbicara dengan bahasa Inggris, aksennya tidak bisa aku mengerti. Aku mencoba menunjuk-nunjukkan nama menunya. Paman penjual mengatakan sesuatu dengan keras dan berteriak dalam bahasa Mandarin yang aku tidak mengerti. Aku merasa kena mental. Akhirnya, dengan mata memelas aku minta tolong kepada Aso Ali untuk memesankan salah satu menu dengan asal tunjuk. Aku tidak tahu apa yang akan tiba akhirnya. Asalkan itu halal, aku sudah pasrah untuk makan saja.

Selepas krisis di Heyuan Canteen selesai, Jang Bomgeun menyampaikan keinginannya untuk bermain ke OCT Culture Park bersama Yen dan Tran. Akhirnya kami pun ikut, tanpa Kabi, karena ia butuh tidur.

Di sinilah krisis berikutnya muncul. Teman-teman non-Muslim kami haus, sehingga ingin membeli minuman segar. Kami pun berhenti di salah satu cafe. Aku menelusuri buku menunya, tampaknya menjual teh dan kopi saja. Yah walaupun harganya lumayan mahal, seperti harga Jakarta yang untuk segelas minuman saja bisa di atas 50 ribu, aku pun akhirnya beli Teh Madai.

Sembari menunggu, pegawai cafe menawarkan tester roti dan minuman es lemon segar. Aku yang kehausan tanpa pikir panjang langsung coba ambil minumannya. 

"Try the bread, it's free," kata Aso Ali.
"Hmm, I'm not sure if it's halal though?"
"What do you mean bread is non-halal? It's only bread, what do you expect?"
"Ey, who knows what kind of butter they use?"
"Then, how do you know if the lemon ice is halal?" 

Aso Ali smirked. Senyumnya yang mempertanyakan itu membuatku tiba-tiba pusing sekali. Benar juga, eh tapi kan ini cuma es lemon?

"I think, from the taste, it's only lemon and water..."
"Ya, don't worry. It's only lemon and water haha"

Tenanglah sudah. Hari itu, aku masih berpendapat bahwa roti pun punya potensi tidak halal. Tapi setelah Aso Ali bilang begitu, aku jadi berpikir ulang. Iya juga ya, apa yang bikin roti ga halal?

Cross Contamination Potential

Hal yang baru setelah kembali ke Indonesia aku akui benar-benar luput. Memang yang aku pesan itu teh. Tapi, sudahkah aku mengecek lembar demi lembar buku menunya untuk memastikan kalau tidak ada bahan non-halal yang digunakan di cafe tersebut? Bagaimana aku yakin bahwa alat-alat yang digunakan itu terpisah dan tidak bercampur?


Selama ini, aku mengira bahwa meskipun barangnya haram, kalau alatnya sudah dicuci maka tidak akan menjadi masalah. Aku tidak tahu bahwa ternyata, daging babi dan anjing itu tidak hanya haram dimakan, tapi juga najis, yang untuk menyucikannya perlu langkah yang panjang. Aku tidak tahu bahwa ternyata, ayam dan sapi yang tidak disembelih dengan nama Allah itu dianggap bangkai sehingga najis juga. Dan untuk kasus roti, selain butter, ada juga kemungkinan kuas yang dipakai dengan bulu babi atau dapurnya bercampur dengan roti isian daging non-halal.

Dang, kini kepalaku rasanya seperti tertimpa batu yang begitu besar dan berat.

Aku jadi ingat, pada hari penutupan, kami piknik ke Guangzhou. Makan siang di bus karena rundown yang ketat. Panitia membagikan burger McDonalds. Khusus untuk halal people, mereka memesankan burger Fillet-O-Fish dan kentang goreng. Saat itu, keraguan pertamaku tentang boikot. Namun, bukan aku yang membelinya dan khawatir mubazir kan. Ya sudah, akhirnya aku makan. Keraguan kedua adalah tentang minyak. Tapi aku berasumsi, harusnya sih pakai minyak nabati ya. Yang aku benar-benar luput, kok lupa mikir kalau minyaknya bisa aja barengan buat goreng bahan-bahan non-halal? Bukankah walaupun ayam, tapi kalau tidak disembelih atas nama Allah, maka dia terhitung bangkai yang najis sehingga ga boleh dimakan? Belum lagi semalam aku cek, ternyata mereka menjual varian yang menggunakan bacon sebagai salah satu bahannya.

Juga kesempatan-kesempatan berikutnya saat aku begitu careless-nya mencoba minuman-minuman yang belum jelas tersertifikasi halal. Memang menu yang aku pesan halal dari segi bahan. Tapi, bagaimana dari segi penyajiannya? Sudahkah aku benar-benar memastikan?


Juga saat welcoming dinner, kami disediakan menu buffet alias prasmanan. Sudah dipastikan kalau no pork. Tapi, apakah tumisannya tanpa angciu? Semoga saja mereka paham kalau itu mengandung alkohol dan ga boleh. Jadi aku tetap ambil menu tumisan. Tapi, apakah alat masaknya sudah dipisah dengan ayam dan daging non-halal? Inilah yang aku luput. Betul, aku sudah berusaha yang terbaik dengan ambil menu sayur dan telur aja. Tapi... lihatlah smirk si Aso Ali itu ketika mengingatkan teman muslimnya yang tetap makan ayam karena lupa mempertimbangkan aturan penyembelihan.


Aku tahu, aku orangnya ga enakan. Aku juga masih mudah terbawa arus karena khawatir dianggap tidak gaul. Aku yang salah di sini. Di lingkungan dan tingkat toleransi teman-teman internasional yang sudah sangat tinggi pun, aku masih belum di titik bisa berpegang teguh dan strict dengan aturan agamaku. Aku belum begitu berani untuk mengatakan tidak dalam urusan makanan. Padahal, tanpa mengonsumsi menu-menu itu pun aku masih bisa bertahan hidup dengan bekal dari Indonesia dan food court Lanzhou. Aku masih terlalu labil untuk mengatakan tidak, hanya karena khawatir dianggap konservatif. Padahal, kalaupun aku bilang, mereka juga akan mengerti. Seperti untuk urusan sholat aku sudah sangat berusaha mempertahankan, aku pernah bilang langsung ke Jang Bomgeun kalau perlu pulang duluan karena harus kejar waktu sholat. Dia bilang gapapa banget, dia bisa paham jadi santai aja. Tapi ternyata, untuk hal makanan aku masih belum bisa. Aku masih cenderung bermudah-mudahan.

Dan aku juga jadi ingat sekarang, meskipun aku makan di Lanzhou, tetapi sendok dan sumpitku masih pakai yang dipakai bersama dengan menu dari food court lain. Astaga...

Bahkan meskipun di AMap sudah cari restoran yang mengklaim kalau Qingzhen (Halal), saat di Huaqiangbei kami tiba di depan dan melihat daftar menu, ternyata juga menyajikan menu pork. Klaim Qingzhen kalau tanpa sertifikasi resmi, tidak menjamin juga ternyata.

Itulah kenapa, Bapak bilang. Orang Tiongkok itu baik-baik, bahkan sangat baik secara pandangan manusia. Tapi, karena niatnya bukan untuk Allah, tentu pada akhirnya akan berbeda. Mereka mungkin sudah berusaha maksimal memahami konsep halal itu no pork, tapi aturan "diet" kita jauh lebih dari itu kan ternyata. Mereka baik, tapi belum cukup.

Sekarang, overthinking-ku satu, akankah 40 hari ke depan ibadahku tidak diterima? Ternyata, aku masih serentan itu ya kalau tinggal di tengah komunitas yang mayoritas non-muslim. Tapi, aku sudah berusaha yang terbaik juga kemarin, di tengah pergolakan emosi di dalam hati dan pikiran, dan walaupun mulai cenderung memaklumi dan bermudahan bahkan di hari pertama.

Tapi, aku juga berkesempatan makan makanan yang benar-benar halal dan sangat bersyukur. Penjualnya sangat ramah, bahkan memberi banyak gratisan untuk kami.


Aso Ali sangat baik, karena bahkan sempat mengajak kami makan keluar dan mencoba restoran halal, walaupun dia sudah disclaimer kalau pricey karena di dalam mall. Satu orang, itupun udah sharing, bisa habis 100 ribuan rupiah.


Pengalaman ini membuatku berpikir ulang tentang keputusanku tinggal di negeri dengan mayoritas penduduknya non-muslim. Memang benar, setiap pemeluk agama Islam punya derajat kepercayaan dan pengamalan masing-masing. Buatku kemarin, aku merasa sudah melakukan yang terbaik yang aku bisa. Namun, sudah siapkah aku untuk hidup sehari-hari dengan beban overthinking hanya untuk urusan makan saja? Padahal di saat yang sama, harus fokus belajar. Dara dari Jepang pun cerita, mau makan aja di sana harus mikir. Mau sholat dengan proper juga susahnya luar biasa.

Kemarin pun, di asrama tidak ada dapur, sejauh yang aku tahu ya. Habib dari Semarang, yang sedang kuliah di Arab Saudi pun bilang, kalau di asramanya tidak boleh memasak. Jadi harus makan ke kantin. Kalau tetap memasak dan ketahuan smoke detector, atau saat sidak, ya habis sudah. Kalau memang masih cukup worth it mempertimbangkan sekolah keluar, soal memasak sendiri ini harus benar-benar dipastikan ya.

Aku pun bukan dalam posisi yang lantas menghakimi para muslim di luar sana yang pada level tertentu masih memaklumi isu cross-contamination potential ini. Hidup sebagai minoritas di negeri orang sudah susah. Mereka pun pasti sudah berusaha yang terbaik, dan hanya Allah-lah sebaik-baik penilai manusia. Aku tidak berhak berpikiran buruk terhadap mereka.

Ini lebih tentang ketenangan pikiran pribadiku saja. Aku yang people-pleaser, aku yang gampang ovt. Urusan makan halal saja ternyata cukup membuatku kepikiran berhari-hari, dan berdampak ke kualitas kerjaku. Profesionalitasku ternyata dipengaruhi sekali oleh kehidupan beragamaku.

Jadi, kalau masih benar-benar mau S2 keluar negeri, yuk berpikir ulang lebih menyeluruh. Aku akan belajar bertahun-tahun di sana. Sudah jadi tugasku juga untuk meminimalkan distraksi yang mempengaruhi hasil belajarku, bukan?

  • Share:

You Might Also Like

0 comments