Halo Aku Versi 18 Tahun

By alfanadhya - August 16, 2018




Siang, 15 Agustus 2018

Aku menangis deras, mata dan hidung memerah, tak ketinggalan kantong mata menebal. Sebuah reaksi yang sungguh kontra dengan kosongnya jadwal Praktikum Pemrograman.

Rasanya sudah lama sekali aku tidak menangis sehebat itu. Hanya alasan sepele yang sesungguhnya mengundang bah air mata untuk keluar dari mataku. Aku. Belum. Bisa. Beradaptasi. Dengan. Lingkungan. Kampus.

Aku menyadari dengan sepenuh hati bahwa aku alay kebangetan. Aku adalah mahasiswa yang tinggal di kota yang sama dengan universitas tempat belajarku. Hal yang memerlukan kemampuan adaptasiku setidaknya sudah berkurang dua, yaitu berkenalan dengan kota baru dan berkawan dengan kemandirian. Aku cuma kurang beradaptasi dengan sistem belajar baru di kuliah, dengan kawan-kawan yang bermacam-macam, dan dengan lingkungan organisasi yang berbeda dengan SMA. Seharusnya, tidak sulit bagiku untuk mengondisikan diri dengan dunia perkuliahan.

Tapi nyatanya apa? Aku. Nangis.

Perlu diketahui sebelumnya bahwa di FMIPA UGM, para mahasiswa semester 1 peru belajar mata kuliah wajib ke-MIPA-an. Kelas kuliah untuk belajar materi wajib tersebut dicampur dan diacak dari ketujuh program studi yang ada. Kebetulan, di kelasku belum ada teman dari sesama Ilmu Komputer yang perempuan. Alhasil, aku merasa sendirian di sana.

Hal lain yang membuatku terkejut adalah penganggapan bahwa lulus SMA berarti sudah menguasai materi SMA sehingga materi SMA diulang tapi dengan kecepatan angin kencang. Aku masih semacam jet lag karena otak nggak dipake untuk mikir selama empat bulan. Ditambah lagi selama SMA aku belajar tuh bener-bener dengan metode, hapalin sampai ujian kelar doang. Ketika ada materi yang nggak aku mengerti, cuma aku tinggalin aja terus fokus ke mapel lain yang lebih menguntungkan untuk dapet nilau bagus. Padahal, yang bikin nilai raporku bagus bukan mapel-mapel IPA. Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, PKn, Bahasa Jawa, Seni Budaya, Pendidikan Agama Islam, dan kawan-kawannya yang menorehkan nilai keren di rapor. Nah, di kuliah sekarang aku hampir bener-bener lebih fokus belahar ilmu sains, meskipun Agama dan English masih ada. Aku yang sering menyepelekan pemahaman dan mikir yang penting tahu cara ngerjain soal, alhadil sekarang kopong pas kuliah. Aku harus belajar ulang materi SMA.

Tapi, perasaan nggak ada waktu yang cukup buat mengejar semua materi menghantuiku. Terlebih lagi, buku referensi dan dokumen presentasi dari dosen mayoritas dalam bahasa Inggris. Aku masih shock.

Rasanya aku pengin nangis lagi. Ngapain aja sih empat bulan? Aku sebenernya dari awal kelas XIi udah memutuskan untuk tetep belajar meskipun lolos SNMPTN. Tapi apa nyatanya? Semangat cuma bertahan H+1 minggu pengumuman. Setelah itu, bye buku, annyeong hp.

Aku mulai merasakan bibit-bibit perasaan bahwa kok kayanya kuliah berat banget. Aku kayak ada di posisi stuck, mau belajar, tapi speed belajarku belom cepet. Terlebih lagi 1 Oktober 2018 UTS udah mulai. Aku mulai membayangkan aku harus gimana? Gimana strategiku bertahan? Kuliah itu mahal, masa saktekane aja? Bahkan ada tang bilang kalo pengin bertahan dengan nilai memuaskan setidaknya belajar buat ujian dipersiapkan berbulan-bulan sebelumnya.

Tak ketinggalan pula awal kuliah dibanjiri tawaran dan doktrin kating tentang berbagai komunitas dan organisasi yang ada di kampus. Saat ini, aku tidak merasakan euforia yang sama seperti ketika SMA. Aku belum memiliki desire untuk daftar apapun, kecuali mungkin Omah TI. 

Kenapa? Karena aku masih merasakan lelahnya berorganisasi dengan segala keruwetan, iuran, danusan, dan miskomnya ketika SMA. Aku seneng-seneng aja berpartisipasi dalam sebuah acara, tapi paling nggak suka kalau terjadi mis koordinasi dan lempar-lemparan tanggung jawab. Aku masih lelah untuk terus mengejar-ngejar seseorang karena tugas dan tanggung jawabnya sendiri. Aku masih terbayang-bayang bagaimana orang tua mengkhawatirkanku yang selalu pulang paling cepat setelah asar dan paling malam pukul 22:00 WIB. Terlebih lagi, aku tipe yang tingkat kekhawatiran dengan kondisi rumah sangat tinggi karena nenekku merasa kesepian ketika semua cucunya pergi sekolah. Aku merasa sedih tiap kali nenek mengeluh dengan nada menyedihkan tentang kesendirian dan kerentaannya.

Berat. Kuliah ini sungguh kurasakan berat di awal.

Terlebih lagi jarak universitas dengan rumahku 10 kali lipat jarak SMA dengan rumahku. Aku masih belum terbiasa. Apalagi aku bayangkan jika besok-besok rapat sampai malam aku gimana pulangnya. Bagaimanakah kekhawatiran orang tua ku jika kegiatanku terlalu sibuk?

Kalau mau jujur, semester satu aku nggak pengin ikut apa-apa dulu. Mungkin cuma coba aja daftar Omah TI. Aku pengin menyelami dan mengeksplor dunia perkuliahan terlebih dahulu dengan caraku.

Ketika merasa berat, aku pun ingat kalimat-kalimat yang tak pernah usang disampaikan sesama teman esemasa SMA ketika lelah menghampiri.

Biar lelah yang penting lillah.

Allah tidak membebani seseorang melebihi kemampuannya.

Laa tahzan, innallaaha ma'anaa.

Jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.

Dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.

Dan ada satu kalimat baru yang menjadi penyemangat kuliahku. Kalimat ini diucapkan pada kuliah perdana Fisika Dasar I oleh Pak Ali Joko.

Ilmu untuk amal.

Niatkan mencari ilmu untuk beribadah :)

Selalu ingat, Alfa, kamu diberi ujian semacam ini karena Allah yakin kamu pasti sanggup dan memiliki kemampuan untuk mengatasinya. Jangan mudah menyerah agar kelak kamu dapat mengamalkan ilmu yang kau miliki dan mampu meng-upgrade diri menjadi kekasih Allah^^

  • Share:

You Might Also Like

4 comments

  1. Aku juga merasakan hal yang sama fa,
    Terus sekarang aku nangis baca ini:(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, Salma mampir blog-ku wkwk
      Jangan lama-lama ya, Sal, nangisnya hehe :)
      Semoga kita bisa segera menyelesaikan masalah masing-masing

      Delete