Jika merasa sendirian, kamu akan menjadi lemah dan dikendalikan orang-orang. Kamu tidak sendirian. Telepon yang dahulu mencintaimu, semua yang mencintaimu sekarang, dan semua yang akan mencintaimu di masa depan. Bukankah kamu akan merasa aman? Kamu tidak boleh lemah. —Eun Joo, A Piece of Your Mind Ep.12
🌌🌌🌌
Beberapa hari yang lalu, seorang teman lama mengirimkan pesan WhatsApp kepadaku. Teman masa SMP yang bisa dibilang paling dekat denganku. Ia mengajakku telepon. Sebuah ajakan yang mengejutkan—jujur saja—karena aku adalah tipe yang lebih menyukai chatting daripada telepon. Meskipun begitu, aku menyambut ajakannya tersebut dengan bersemangat. Aku memberitahu kepadanya untuk telepon sekitar satu jam lagi karena masih ada kegiatan di masjid saat itu. Rasanya cukup bahagia karena bisa saling bertukar kabar dan cerita kepada teman lama yang dahulu pernah cukup dekat denganmu di bangku sekolah. Percakapan kami pun berlangsung hingga tengah malam, hampir 3 jam lamanya. Topik yang kami bahas pun bermacam-macam, mulai dari kehidupan perkuliahan, masa depan, cinta pertama, hingga... kesendirian, satu hal sulit yang sedang aku lalui beberapa bulan terakhir ini, yang ternyata juga sedang ia alami.
Menjalani masa saat skripsi adalah satu-satunya mata kuliah yang diambil sungguh bukan hal yang mudah. Sebenarnya menjalani semester padat dengan jumlah SKS lebih dari 20 juga sulit, tapi setidaknya masih ada teman-teman seangkatan untuk berjuang bersama—mempelajari hal yang sama, dosennya sama, waktu ujiannya pun bersamaan. Kalau skripsi? Sudah topiknya berbeda, dosennya tidak sama, eh waktu ujiannya pun tergantung pace masing-masing individu. Jika tidak punya teman dekat untuk melaluinya, sedangkan kemampuan diri sendiri tidak sebegitu hebatnya, rasanya benar-benar tertinggal sendiri.
Jujur saja, aku kerap kali merasa sendirian saat melihat teman-teman lain masih bisa meetup nongkrong bareng santai, bahkan terkadang saling support untuk mengerjakan proposal. Atau saat mereka bermain game online bersama lalu membagikan momen di sosial media. Atau saat mereka saling berdiskusi seru tentang pertandingan sepak bola yang baru saja ditonton. Atau saat mereka saling berbagi keluhan tentang dunia magang yang sedang mereka jalani.
Aku iri. Teman-temanku masih saling berhubungan dan bersenang-senang bersama. Teman-temanku masih saling membantu dalam dunia perkuliahan. Aku di sini merasa tertinggal dan sendiri. Aku sudah berhenti bekerja dan freelance, jadi aku tidak lagi punya kegiatan rutin untuk bertemu teman kerja dan tidak lagi terlalu mengerti masalah dunia kerja. Aku juga sudah tidak aktif ikut organisasi dan komunitas, jadi aku tidak lagi punya kegiatan untuk bersosialisasi. Aku tidak lagi mengambil mata kuliah reguler, jadi tidak ada lagi tugas kelompok tempat aku bisa mengerjakan tugas sambil berinteraksi dengan teman kuliah. Aku tidak punya topik yang nyambung untuk dibahas dengan teman-temanku.
Singkatnya, kesempatanku untuk berinteraksi dengan manusia lain kini sangat terbatas. Hanya dengan keluarga di rumah dan satu teman kuliah. Tak pernah kusangka bahwa ternyata aku sangat membutuhkan sosialisasi. Selama ini aku mengira bahwa aku adalah manusia introvert yang tidak butuh interaksi dengan manusia lain. Aku selalu merasa lelah setiap pulang dari kegiatan yang bertemu manusia lain dalam jangka waktu yang cukup lama. Aku merasa lebih nyaman dengan kesendirian. Aku pikir, kalaupun tidak punya teman juga tidak apa-apa, aku tetap bisa bertahan hidup di dunia ini. Ternyata, mau bagaimanapun aku tetap manusia yang sudah fitrahnya diciptakan sebagai makhluk sosial. Mau bagaimanapun tetap butuh berinteraksi dengan sesama manusia.
Kalau diingat-ingat kembali, sebenarnya aku tidak pernah punya banyak teman. Saat SD dan SMP, aku bertemu teman hanya saat di sekolah. Sesekali mungkin main bareng sepulang sekolah atau kalau mengerjakan tugas kelompok. Kala itu belum ada aplikasi chatting gratis. Mau berkirim pesan masih terbatas dan mahal, bahkan harus memikirkan batas jumlah karakternya. Anehnya, saat itu aku tidak merasa sendiri. Setidaknya, begitulah aku mengingatnya. Aku tetap merasa punya banyak teman yang bisa kutemui di sekolah. Aku tidak merasa terkucilkan seperti yang kurasakan saat ini. Jadi, mungkin sebenarnya, rasa kesendirian ini adalah salah satu efek kecemburuan yang bias akibat media sosial saja. Di media sosial, beberapa teman-teman saling membagikan kebersamaan mereka. Tapi sebenarnya, berapa banyak, sih, yang memiliki keistimewaan itu. Tidakkah aku mempertimbangkan teman-teman lain yang bahkan hampir tidak pernah muncul di media sosial? Bisa jadi, banyak juga yang merasa sendiri seperti aku saat ini. Aku merasa yang paling menderita hanya karena postingan sekian persen kebahagiaan hubungan pertemanan dari seluruh teman yang aku kenal. Jangan-jangan aku hanya iri karena keberadaanku tidak dianggap di dunia ini.
Mungkin baru mulai masa SMA aku berinteraksi dengan begitu banyak orang karena memang tuntutan menjadi anggota organisasi dan panitia acara. Berlanjut juga saat kuliah. Tapi rasanya, semua orang yang aku temui selalu hanya karena urusan 'profesional' saja. Tidak banyak yang kemudian begitu dekat. Mungkin ada beberapa, tapi hanya bertahan sampai masa ikatan tempat sekolah atau kepanitiaan atau keanggotaan itu berakhir. Setelah itu, tidak lagi saling bertukar kabar.
Setelah merenung, aku pikir bukankah memang begitu? Bahwa hubungan antar manusia memang ada rentang waktunya sendiri-sendiri, harus ada alasan yang mendasari ikatan hubungan itu. Jika sudah habis, ya sudah. Memang harus begitu.
Aku berpikir begini karena aku sendiri juga baru-baru ini merasa telah 'meninggalkan' seorang teman. Awalnya aku merasa aku yang egois karena lebih mementingkan urusanku, serta sebenarnya banyak ketidaknyamanan dan ketidakleluasaan lain jika terus berteman dengannya. Tapi ternyata ya, memang salah satunya karena sudah tidak ada lagi bahasan yang bisa membuat obrolan kita nyambung karena proyek kita sudah berakhir. Atau kalau mau digali lebih dalam lagi sebenarnya pasti ada topiknya, tapi mungkin hanya akan berakhir sebagai basa-basi yang tak berarti.
Mungkin teman-temanku bukannya meninggalkan aku. Mereka tetap mengingatku. Mereka juga akan tetap menyapaku andai kata bertemu tanpa sengaja. Hanya saja, mungkin sudah tidak ada lagi hal atau ikatan tertentu yang bisa membuat hubungan kita seseru dan semenyenangkan dahulu.
Jadi yang kupikirkan sekarang, kalau memang sudah tidak cocok lagi dengan teman yang dulu, maka carilah teman baru di tempat lain. Hanya itu yang bisa kupikirkan sekarang. Karena ikatan teman bisa jadi hanya bertahan sementara. Hanya ikatan keluarga yang memiliki probabilitas durasi membersamaiku paling lama.
Lalu aku teringat bahwa di akhir waktu hidup setiap manusia di dunia, kita akan sendirian. Memasuki masa tua—saat anak-anak sibuk dengan kehidupannya sendiri, teman-teman mungkin sudah pergi ke alam lain lebih dulu, badan tak lagi sekuat dulu untuk melakukan aktivitas produktif—manusia akan sendiri. Saat di liang lahat juga sendiri, bahkan kesempatan untuk bertemu manusia lain sudah tidak lagi bisa. Seperti kata lirik salah satu lagu Blackpink,
Yeah we were born to be alone...

0 comments