Senin, 26 Desember 2022
Ciri topik nongkrong orang yang mendewasa: berat. Salah satunya topik yang ditodongkan kepadaku selepas sholat asar hari itu. Baru saja turun dari mushola untuk menghampiri tempat duduk, aku mendengar N berkata kurang lebih begini,
"Berteman antara perempuan dan laki-laki itu boleh. Kamu mau meminta solusi untuk masalah hubungan antara perempuan dan laki-laki juga gapapa, selama tahu batasannya. Selama memang sama-sama tahu, kalau di antara kalian tidak ada rasa apa-apa. Beda ceritanya kalau kamu tahu dia mungkin menaruh perhatian ke kamu atau bahkan udah tahu kalau kalian sama-sama suka. Kalau kasusnya begitu, ya harus segera dibatasi. Kayak aku sama Alfa temenan gini, aku minta pendapat ke dia kan gapapa banget, ya kan, Fa?"
Tiba-tiba A meminta waktuku 10 menit saja untuk bantu menjawab kerisauannya. Butuh perspektif dari seorang perempuan katanya. N sedikit membantu membawakan intronya. Intinya, A suka seseorang tetapi belum berniat untuk serius dalam waktu dekat. Meskipun demikian, sepertinya dia tahu kalau perempuan yang ia sukai juga menyukainya. Tapi ia tetap ingin menjaga batasan terlebih dahulu untuk saat ini. Yang ia bingungkan adalah bagaimana caranya menegaskan prinsipnya tersebut kepada si perempuan.
"Kenapa pusing? Ya tinggal jujur aja kan, kamu maunya gimana dan kondisimu saat ini seperti apa," jawabku.
"Nah, kan? Kayak yang aku bilang tadi. Biar jelas. Toh kalau dia perempuan baik, dia pasti akan memahami. Kalau ternyata engga, ya berarti belum jodohnya," kata N menimpali.
"Iya, nothing to lose aja. Eh tapi bisa jadi perspektifku ini kurang tepat juga. Aku kan dari SMA kebanyakan temennya cowok ya, jadi cenderung ngomong langsung jujur aja. Kalo kamu ngomong jujur ke dia, bisa jadi responnya beda, tergantung dia tipe cewek yang kayak apa," aku menambahi.
*Astaga, kini aku cukup merasa bersalah karena mengucapkan kata nothing to lose. Padahal, dia pasti sedang merasa sangat berat hatinya ya. Ckckck dasar! Yuk jaga mulut lagi, mikir dulu yang bener sebelum ngomong :)
"Maksudnya banyak temenan sama cowok?" tanya N.
"Iya, waktu SMA aku masuk divisi desain kan kebanyakan cowok. Kuliah jurusanku juga isinya hampir cowok semua, gitu," jawabku.
Pembahasan itu pun terhenti beberapa waktu karena perjalanan kami ke Senayan dengan MRT. Sesampainya di GBK, kami mencari mushola terlebih dahulu untuk sholat Maghrib. Setelah itu, kami lanjut berjalan ke kantin GBK untuk makan malam. Di situlah topik kami berlanjut,
"Nah, tadi A kan udah. Sekarang gantian satu-satu cerita. Kalo aku, diminta untuk nunggu mbakku dulu yang sedang ikhtiar. Bukan apa-apa sih, lebih ke menjaga mbak dari tekanan masyarakat aja. Tapi udah mulai lihat-lihat juga." mulai N.
"Ah iya bener. Aku nih walaupun masih anak-anak, kalau nemenin ibu datang arisan pasti udah ditanyain undangan. Aku sempet nanya kan, kenapa sih udah ditanya-tanya. Katanya, kalau cowok mah 5 tahun lagi baru ditanya, kalau cewek habis lulus mau ngapain lagi?" aku menanggapi.
"Nah iya kan, kalo cewek tuh lebih cepet usia kena tekanan dari pandangan masyarakat. Nah sekarang giliranmu," kata N.
"Harus topik yang berkaitan sama itu nih?" tanyaku.
"Iyalah! Ini kan transaksional!" seru N sambil bercanda.
"Huh yaudah deh...," aku pun bercerita mengenai kisahku yang sebaiknya demi kebaikan orang yang terlibat tidak aku ceritakan di sini.
"Kalau targetmu mau kapan? Terus udah ada inceran belom?"
"Kalo target belum ngeset. Kalo inceran jujur sekarang belum ada ya," jawabku.
"Wah tadinya aku mau tanya lebih lanjut soal masalahku ke kamu, tapi kamu udah cerita di sini ya. Oke deh, habis ini aku bakal telepon dia," kata A tiba-tiba.
"Serius? Pengen denger nih! Eh tapi jangan langsung juga, harus ada bridging-nya. Cari timing yang pas," saran N.
"Oiya bener juga," kata A setuju.
Berlanjut ke R yang bercerita bahwa targetnya masih lama juga. Meskipun demikian, dia mengincar seorang perempuan yang seusia dengannya. Lalu aku memberi sedikit info, bahwa menurut BKKBN, disarankan untuk tidak hamil melebihi usia 30 tahun. R pun bertanya alasannya. N menjawab dengan alasan kesehatan ibunya. Kalau dari yang kuperhatikan, R pun jadi berpikir ulang.
Giliran S yang bercerita bahwa sebagai anak tunggal satu-satunya yang ternyata berusia lebih muda dariku, orang tuanya masih sangat protektif. Kalau incaran, tentu sudah ada. Tapi dia masih ingin apa ya istilahnya, memantaskan diri dulu.
Ya kurang lebih begitulah sesi transaksional kami. Sepertinya setelah menulis ini aku jadi tahu, sumber dimulainya bahasan berat ini dari mana. Tentu saja, buku yang dibawa N, judulnya Men are from Mars, Women are from Venus. Ya sudahlah. Walaupun aku bingung sendiri kenapa bisa menceritakan kisahku yang cenderung bersifat privasi ini dengan mudahnya kepada mereka yang baru kutemui di dunia nyata pertama kali, setidaknya pertemuan kami ini jadi lebih berkesan hehe
0 comments