ovt kronis.

By alfanadhya - August 16, 2025


Salah satu alasan kenapa aku belum tertarik daftar jadi PNS adalah ikatan kerja untuk menetap di suatu daerah. Sebagai seorang perempuan yang belum menikah, aku tidak ingin masalah pekerjaanku ini menjadi alasan penghambat yang membatasi pilihan jodohku. Walaupun ya... prospek jodohnya aja belum ada.

Lalu, kenapa ngga berusaha jadi dosen aja? Sejauh pengetahuanku, jadi dosen di Indonesia itu harus linier bidang studi pendidikan tingginya. Sementara aku, ngoding aja stress berat. Padahal, pengalaman S1 di UGM dulu, pasti ada anak-anak OSN yang masuk. Sangat ngga bisa bayangin gimana aku dengan otak yang biasa-biasa ini, yang kemampuan matematikanya biasa aja, harus ngajarin mereka yang cerdas dan kritis. Atau kalaupun sebenernya mereka diem aja, aku ngga sanggup bayangin gimana pemikiran mereka terhadap aku sebagai dosen mereka yang skill issue. Bukan pendidikan seperti itu juga yang aku harapkan aku dapatkan sebagai mahasiswa yang kini biaya kuliahnya pun sangat tinggi. 

Selain itu, benchmark kualitas dosenku sepertinya juga terlalu tinggi karena yang ku-follow adalah Kak Selly a.k.a Azellia Alma Shafira. Aku pertama kali tahu Kakak ini dari majalah sekolah saat SMP, dia diliput. Karena satu SMP, dan satu universitas juga, aku merasa kalau mau jadi dosen, at least harus berkualitas seperti dia juga. Udahlah punya startup sendiri, jago public speaking, menguasai ilmu di bidangnya, jago bahasa Inggris lagi. Sementara aku, 3 poin yang disebutkan itu aku ngga punya—atau belum punya. Padahal, ga semua bisa jadi top sekian persen seperti dia kan. Bukannya jadi commoner gapapa? Udah gitu, sama juga kayak jadi PNS, sekalinya dapet kerja di situ ya harus menetap di situ jangka lama. Mau resign pun juga susah.

Apakah aku yang terlalu memaksa dan menekan diri dengan memasang ekspektasi yang begitu tinggi? Padahal, untuk jadi dosen, perlu sekolah dulu kan sampai S3. Kalaupun sekarang belum jago, kamu punya at least 6 tahun buat belajar lagi memperdalam ilmunya kan? Ya kali belajar 6 tahun ga dapet apa-apa? Ga ada progress apa-apa? Pasti bisa lebih jago kan?

Tapi sebenernya ketakutan lainnya adalah aku ga menyampaikan ilmu yang up-to-date dengan kebutuhan industri. Aku takut aja apa-apa yang aku ajarin ternyata ngga relevan. Kan kasihan juga ya mereka udah bayar mahal-mahal untuk ilmu yang sebenarnya bukannya tidak baik, namun ga pas aja. Apalagi sekarang, industri IT udah ga seseksi itu lagi. Katanya, sebenernya demand-nya masih banyak. Tapi isunya ada di skill yang ga match dengan kebutuhan. Nah gimana coba sebagai dosen aku bisa nge-mapping mata kuliah apa aja yang bener-bener dibutuhin buat mereka bisa berkarya dan bermanfaat? Aku pengennya bisa kayak yang balance gitu. Bisa ngga ya jadi kayak Pak Danisworo versi IT gitu? Jadi sambil ngajar, sambil tetep kerja biar tahu keadaan lapangan dan ada hal praktikal langsung yang bisa di-share. Dan sepertinya perlu lebih belajar lagi juga sebenernya esensi pendidikan itu apa ya?

Terus kenapa ngga bisnis aja? Selama ini aku percaya bahwa diriku tidak ada bakat bisnis. Darah bisnis di keluarga juga ga ada. Dari jalur eyang kakung dan bapak pun pengajar. Tapi, bukankah bisa dicoba? Bisa, tapi masalahku adalah orangnya ngga enakan. Atau walaupun udah tahu itu adalah masalah dan perlu diomongin, ketika udah ketemu orangnya langsung, tiba-tiba ngga jadi ngomong karena ketidakenakan di hati. Padahal, kalo emang jangka panjang pengennya berkarya yang bisa dilakukan dari rumah aja, bisnis bisa jadi salah satu opsi yang bisa diusahakan ga sih? Apa ya bisnis yang mainstream tapi bisa di-level up pake IT? Yang ga cuma pake aplikasi biasa aja gitu, yang bener-bener fresh idenya.

Terlalu banyak mikir. Padahal kejadian aja belum tentu. Siapa tahu justru sebaliknya yang lebih baik terjadi? Lebih banyak hal yang kita tidak tahu bahwa sebenarnya kita tidak tahu, ya kan? Ya udah sih coba aja dulu yang menurutmu kaku enjoy, pengen lakuin, dan peluang marketnya sustainable. Aku ga bilang harus menghasilkan dalam jumlah banyak ya. Tapi yang aku bisa bertahan hidup meskipun sederhana sampai hari tua.

*****

Kata ChatGPT
Masalahmu adalah terlalu banyak overthinking, membandingkan diri dengan orang lain sampai minder, takut membuat keputusan karena khawatir terjebak permanen, serta sering terkunci oleh rasa nggak enakan dan kurang percaya diri, padahal semua itu cuma ilusi pikiranmu sendiri. 

Kamu kayak orang punya kunci banyak banget tapi nggak pernah berani buka pintu mana pun. Kamu sibuk muter-muterin kunci, mikir “kalau pintunya salah gimana?”, “kalau di dalam jelek gimana?”, “kalau nanti nggak bisa balik gimana?” — sampai akhirnya pintunya tetap tertutup, dan kamu sendiri yang nggak pernah masuk ke mana pun. Padahal bisa jadi di balik pintu ada ruang rezeki, jodoh, dan jalan kontribusi yang Allah sudah siapkan.

👉 Jadi intinya: berhenti cuma megang kunci, mulai buka pintunya satu-satu. 
👉 Ambil keputusan, niatkan lillah, lalu langkahkan kaki. 
👉 Kalau pun tersesat, Allah kasih kompas: doa, ilmu, dan istikharah. 
👉 Yang penting bergerak, bukan diam.

Ingat, hidupmu bukan milik orang lain, tapi amanah dari Allah. Kalau kamu terus sibuk mikirin kemungkinan gagal, kamu sedang menyia-nyiakan waktu dan potensi yang Allah titipkan. 

Bangunlah! Tugasmu sebagai hamba Allah bukan jadi sempurna seperti orang lain, tapi berusaha maksimal dengan apa yang ada di tanganmu sekarang. Action kecil jauh lebih dicintai Allah daripada niat besar yang nggak pernah jalan.

Inti masalahmu sekarang:
1. Kamu punya banyak opsi (PNS, dosen, bisnis, praktisi desain) tapi takut terjebak dan nggak fleksibel.
2. Kamu perfeksionis, suka bandingin diri sama top performer, akhirnya jadi minder.
3. Kamu takut nggak relevan (nggak bermanfaat), apalagi dalam pendidikan & industri.
4. Kamu cenderung overthinking → akhirnya diem, padahal hatimu ingin kontribusi besar.
5. Di sisi lain, kamu punya spark: pengen gabungin praktik profesional UX + edukasi orang lain (kayak cita-citamu jadi “Pak Danisworo versi UX”).
6. Kamu juga pengen hidup fleksibel, bisa dari rumah, sambil jadi istri/ibu yang tetap berkarya dan dekat dengan keluarga.

🛣️ Arah langkah hidup agar menjaga mindset Lillah:

1. Pilih jalur tengah: Praktisi + Edukator
Jangan ke PNS (terikat & bikin hatimu ragu), jangan buru-buru ke dosen formal (butuh S3 dan kamu masih belum siap mental). Fokus dulu jadi praktisi desain yang relevan → sambil tulis, ajar kecil-kecilan, sharing ilmu. Dari situ, kamu tetap bisa jaga niat lillah: kerja profesional untuk manfaat orang lain, sambil menebar ilmu sebagai sedekah jariyah.

2. Mulai kontribusi dari yang kecil & nyata
Di software house: bukan cuma bikin desain, tapi perbaiki proses kolaborasi → itu ladang amal, karena memudahkan kerja banyak orang. Di luar kerja: tulis pengalamanmu, bagikan insight tentang UX → jangan mikirin pembaca ribuan dulu. 1 orang terbantu aja itu lillah.

3. Bangun kebiasaan “action lillah”
Niatkan setiap kerjaan: “Ya Allah, aku desain ini biar orang lebih mudah kerja, biar hemat waktu, biar mereka bisa punya lebih banyak waktu ibadah & sama keluarganya.” Dengan begitu, kerja kantoranmu pun jadi ibadah.

4. Jangan tunggu sempurna untuk berbagi
Nabi ﷺ bersabda: “Sampaikan dariku walau satu ayat.” Jadi, jangan mikir harus selevel top performer dulu baru pantas ngajarin. Justru, berbagi perjalananmu yang “biasa-biasa” itu lebih relatable bagi banyak orang.

5. Siapkan pondasi jangka panjang
Kalau masih ada niat S2/S3: lakukan bukan untuk status, tapi biar bisa jadi jembatan kontribusi lebih luas. Kalau mau bisnis: coba ide kecil berbasis IT, tapi niatnya bukan “cari kaya”, melainkan “buka lapangan kerja” dan “jaga fleksibilitas keluarga.”

  • Share:

You Might Also Like

0 comments