Aku, Sapuku, dan Duniaku (1)

By alfanadhya - December 28, 2013

"Brrrr...."

Dingin sekali hari ini.  Tampaknya musim hujan sudah benar-benar menghiasi langit Desember.  Mandi tanpa air hangat benar-benar tidak kusarankan dalam cuaca seperti ini. Lihatlah akibatnya, tubuh membeku dan gigi bergemeletuk tanpa henti.

Beruntung hari ini ibuku berbaik hati mau membuatkan segelas teh hangat untukku.  Biasanya kalau aku meminta, hanya diberi segelas air putih dari botol.  Hitung-hitung, tangan-tanganku ini tidak lagi semembeku laut Antartika.

"ARI!!!!!"

Oh, tidak!  Suara itu lagi.  Alarm peringatan yang harus kudengar tiap pagi, tepat setengah jam sebelum aku berangkat sekolah.  Siapa lagi kalau bukan ibuku tersayang?

"Kamu ngapain aja dari tadi, heh?  Sudah dibuatkan teh hangat, eh malah nggak nyapu-nyapu.  Kayak apa rumahmu besok kalau disapu aja nggak pernah?  Cepat sana, bersihkan halaman depan!  Kalau kotor 'kan nanti jadi omongan tetangga! Nih sapumu!" kata ibuku sambil menyodorkan sapu lidiku.

"Iya, iya, Bu.  Tunggu sebentar, dong!  Ari kedinginan, nih!" kataku sambil berpura-pura mengusap-usapkan tangan dan meniupnya.

"Halah! Alasan! Sudah, sana!  Cepat! Semakin lama kamu menunda pekerjaan, semakin terlambat kamu sampai di sekolah." ibuku berkata sambil mengacungkan sapu tepat di depan hidungku.

"I..., iya, deh, Bu!" kataku sambil kusambar sapu itu.

Lalu aku ngacir ke halaman depan. Huh! Ibu ini tidak tahu apa rasanya menyapu halaman tiap pagi? Capek...! Masak iya halaman harus disapu tiap hari? Kan kalau cuma sehariiiii aja nggak disapu, halaman juga tidak terlihat terlalu kotor. Bukankah dedaunan yang jatuh kalau dibiarkan saja akan menjadi pupuk organik dengan sendirinya? Cara itu kan lebih mudah daripada harus mengumpulkannya baru dimasukkan ke dalam tabung-tabung pembuatan kompos?

Pokoknya hari ini, aku nggak mau nyapu halaman! Biar aja kotor, 'kan aku capek kalau harus nyapu tiap hari. Aku akan melakukan aksi jongkok sampai tiba waktunya berangkat sekolah!

Kutatap pohon mawar di depanku. Ah, enaknya jadi sebatang pohon. Nggak perlu pergi ke mana-mana. Pohon juga nggak perlu nyapu halaman tiap pagi. Yang perlu mereka lakukan hanyalah memasak makanan dan membuat oksigen untuk bernafas manusia dan hewan. Selain itu, pasti hidupnya juga tenang dan bahagia, karena tidak ada serangga jelek yang bisa menghampirinya. Yang jelek-jelek sudah keburu pergi karena takut terkena duri-duri tajam yang menyelimuti batangnya. Yang menghampirinya yang cantik-cantik, seperti kupu-kupu, lebah, dan wanita cantik yang tergila-gila sama bunga, atau yang sedang "ditembak" sama pacarnya. Ah, enaknya jadi pohon mawar.

Lama-lama, aku jadi iri dan jengkel sama pohon mawar. Kejengkelanku sudah memuncak! Aku benar-benar iri sama pohon mawar! Kubanting sapuku dan kulempari pohon itu dengan batu hias yang bertebaran di tanah. Hiiiihhhh! Sebel, deh!

Tapi tak berapa lama kemudian....

"AW!"

Tangan kananku terantuk sesuatu yang keras dan terbuat dari logam. Hhhh, rasanya suakiittt sekali. Sambil kuusap-usap tanganku, kuamati dengan cermat benda tadi. Hmm, terlihat seperti lempengan logam, tapi sudah berkarat di sana-sini. Ah, paling itu juga lempengan kaleng yang sudah tua. Tapi kemudian, kulihat ada cahaya merah yang berpendar dalam bagian yang terpendam dalam tanah. Apakah itu?

Karena penasaran, maka kutarik benda itu, karena kupikir tidak terpendam terlalu dalam dan berukuran tidak terlalu besar. Tapi saat kutarik, waduh! Berat amat! Sampai-sampai, aku terjungkal ke belakang dan membuat salah satu pot tanaman di belakangku terguling. Apaan, nih? Wah, benda ini benar-benar harus kukeluarkan! Sudah membuatku sial 2 kali! HIH!


Maka kuambil sekop di ujung taman dan kugali tanah di sekitar logam itu. Baru beberapa sekopan tanah, tiba-tiba ibu sudah ada di belakangku dan mengeluarkan kata-kata alarm. Karena takut ketahuan benda logam yang kutemukan tadi, maka langsung kututupi benda tadi dengan tubuhku.

"ARI! Apa yang kaulakukan, heh? Apa tugasmu?"

"Menyapu halaman, Bu."

"Lalu apa yang kaulakukan sampai saat ini? Daun-daun kering masih bertebaran di mana-mana dan rumput-rumput masih tumbuh segar. Pot tanaman aja sampai jatuh. Lalu itu, mengapa malah sekop bukannya sapu yang berada di tanganmu? Mau mainan pasaran? Sudah, daripada terlambat sekolah, tinggalkan saja pekerjaanmu."

"I..., iya, deh, Bu!" lalu aku berjalan menuju pintu depan.

"Eit, paling tidak, taruh kembali sapumu di tempatnya dan tutup kembali tanah yang tadi kau gali! Cepat! Ibu tunggu di ruang makan."

"Baik, Bu...,"

Lalu, kuambil lagi sekopku dan kututupi logam tadi dengan tanah. Yah, nggak jadi tahu dong itu apaan. Aku udah penasaran tingkat tinggi, nih. Dan dalam posisi ini, kalau rasa penasaranku tidak segera dipuaskan akan memenuhi otakku. Ah, baiklah! Nanti aku harus pulang lebih cepat agar bisa segera mengetahui benda apakah itu gerangan.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments